Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Pertamina EP menegaskan tidak akan mengikuti arahan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam menjalankan proyek pengurasan minyak tahap lanjut alias Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk mendongkrak produksi. PEP hanya menggunakan mekanisme Kerja Sama Operasi (KSO) bukan sistem kontrak no cure no pay.
Direktur Pertamina EP Syamsu Alam mengatakan, proyek EOR Pertamina EP dan PT Geo Cepu Indonesia tidak mengunakan mekanisme no cure no pay tetapi memakai konsep Kerja Sama Operasi (KSO) yang sudah ada. Biaya dan kegiatan proyek EOR di Blok Cepu ini akan disusun seperti mekanisme Rencana Kerja dan Anggaran setiap tahunnya.
Hingga kini Pertamina EP dan Geo Cepu Indonesia juga belum menyusun Plan of Further Development (POFD) sampai dengan kontrak akhir tahun. "Belum dibahas secara detai,"ujar Samsu Alam kepada KONTAN, Selasa (20/8) beberapa waktu lalu. Selain itu, karena area di Cepu ini merupakan lapangan produksi, maka akan ada Non Shareable Oil. Produksi minyak diluar Non Shareable Oil inilah yang nantinya akan dibagi atau displit. Syamsu tidak menjelaskan lebih detail besaran split masing-masing pihak.
Sekedar mengingatkan Pertamina EP sudah menandatangani kontrak kerja sama dengan PT Geo Cepu Indonesia dan Principal of Agreement dengan Daqing Oilfield Ltd pada Jumat (16/8) lalu.Penandatanganan itu disaksikan langsung oleh Menteri BUMN, Dirut Pertamina dan Presiden Direktur Pertamina EP.
Padahal sebelumnya, pada Juni 2013 lalu, Kepala Humas SKK MIgas Elan Biantoro mengatakan proyek EOR nanrinya akan menerapkan sistem kontrak no cure no pay. Kontraktor hanya dibayar jika mampu meningkatkan produksi minyak dari sumur-sumur tua. Jika gagal, maka kontraktor tidak akan mendapatkan pembayaran.Langkah ini ditempuh untuk menghindari kerugian negara.
Kendala Pengadaan Lahan
Manajer Humas Pertamina EP Agus Amperianto salah satu kendala yang masih dihadapi Pertamina EP dalam proyek EOR ini, adalah masalah pembebasan lahan. Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang penyelangaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum Bab VIII pasal 121 mengatakan dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari satu hektare (ha) dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah,dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak
Padahal Menurut Agus, untuk proyek EOR dan pengeboran lainnya Pertamina membutuhkan lahan rata-rata seluas 5 ha. Alasannya untuk melakukan pengeboran dengan menggunakan rig 500 HP, Pertamina EP memerlukan lahan sedikitnya 2 hektar. Lahan itu belum termasuk untuk pembangunan jalan akses menuju lokasi pengeboran atau fasilitas pendukung lainnya. "Sehingga kebutuhan lahan minimal 5 hektar itu adalah keperluan lahan rata-rata untuk melakukan pengeboran yang tidak terbatas untuk proyek EOR Pertamina EP tetapi juga untuk pengeboran Kontraktor Kerja Sama lainnya," ujar Agus Amperianto.
Apalagi kata Agus, dalam setiap tahun untuk eksploitasi dan workover, Pertamina EP bisa mengebor tidak kurang dari 150 sumur. Sedangkan untuk eksplorasi sendiri rata-rata Pertamina EP mengebor 25 sumur per tahun. Langkah Pertamina EP mengebor sumur sebanyak itu, memang dimaksudkan untuk mencapai target produksi atau lifting minyak yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini SKK Migas dan PT Pertamina.
Pertamina EP sudah pernah menyampaikan draft pengadaan lahan khusus migas ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,SKK Migas , Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), dan Badan Pertanahan Nasional . Dalam draft tersebut Pertamina EP mengusulkan agar untuk pembebasan lahan dibawah 5- 10 ha dapat dilakukan negosiasi langsung dengan pemilik lahan. Dengan begitu , maka pengadaan tanah untuk kepentingan operasi migas bisa lebih cepat.
Pilihan lain, agar bisa sesuai dengan ketentuan pengadaan tanah, meskipun membutuhkan lahan 5 ha, Pertamina EP bisa saja melakukan negosiasi langsung dengan pemilik lahan untuk lahan seluas 1 ha untuk pengeboran. Sedangkan lahan sisanya bisa mengikuti proses pengadaan tanah sesuai dengan peraturan, bisa dengan sewa-beli. Namun hingga kini, usulan Pertamina EP tersebut belum mendapat respon positif dari pemerintah.
Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana membenarkan adanya kendala yang dihadapi Pertamina EP terkait pengadaan lahan ini. Gde mengusulkan agar pemerintah sebaiknya merevisi Perpres No. 71 tahun 2012 terkait dengan batas minimal lahan yang bisa dibebaskan dengan pembelian langsung agar bisa memperlancar aktivitas operasi migas termasuk proyek EOR ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News