kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

PT Timah (TINS) akan bangun pabrik pengolahan monasit Semester I 2020


Jumat, 02 Agustus 2019 / 22:08 WIB
PT Timah (TINS) akan bangun pabrik pengolahan monasit Semester I 2020


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Timah Tbk menargetkan bisa segera mengolah mineral tanah jarang (rare earth). Perusahaan mineral BUMN berkode emiten TINS tersebut menargetkan bisa membangun pabrik pengolahan tahap pertama pada paruh pertama tahun depan.

Direktur Pengembangan Usaha TINS Trenggono Sutioso menyampaikan, fasilitas pengolahan tersebut akan memisahkan logam tanah jarang dan unsur radioaktif uranium atau thorium dari mineral monasit, yang merupakan produk ikutan dalam penambangan bijih timah.

"Pabrik pengolahan tahap pertama akan menghasilkan senyawa logam tanah jarang berbentuk senyawa karbonat," kata Trenggono kepada Kontan.co.id, Jum'at (2/8).

Trenggono mengatakan, saat ini kajian kelayakan telah selesai dilaksanakan dan perjanjian kerjasama dengan Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir untuk pengelolaan produk samping Uranium atau Thorium sudah ditanda tangani.

"Bila tidak ada kendala, konstruksi pengolahan untuk mulai mendapatkan mineral monasit akan segera dimulai," ujarnya.

Baca Juga: Ganti Teknologi Smelter, TINS Merilis Obligasi dan Sukuk Rp 1,3 Triliun

Meski tak menyebut detailnya, tapi Trenggono mengatakan bahwa pihaknya menargetkan konstruksi dari fasilitas pengolahan itu bisa dimulai pada Semester I-2020.

Ia bilang, target itu bisa terlaksana dengan asumsi perizinan terkait dapat segera diselesaikan. "Konstruksi pabrik akan dimulai setelah didapatkan izin RE carbonate dapat sebagian diekspor. Untuk kepastian dimulainya pembangunan pabrik akan diinformasikan kemudian," tuturnya.

Menurut Trenggono, izin RE Carbonate diperlukan karena hingga kini mineral tersebut belum termasuk pada list produk yang dapat diekspor sesuai Peraturan Menteri ESDM.

Soal pemasaran, Trenggono memang mengungkapkan bahwa produk tanah jarang ini akan diprioritaskan untuk pemenuhan bahan baku industri. Sedangkan sebagiannya akan memenuhi pasar ekspor. Sayang, ia tak mendetailkan porsi dari serapan pasar tersebut.

Baca Juga: PT Timah (TINS) bidik produksi timah 70.000 ton tahun ini

Sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan kerangka regulasi terkait produksi, pengolahan dan pemanfaatan tanah jarang di tanah air.

Yunus mungkapkan, tugas khusus untuk pengelolaan rare earth ini memang akan diserahkan kepada PT Timah Tbk. "Nanti akan diperintahkan kepada PT Timah, tapi perangkat regulasinya harus dibuat dulu," katanya.

Saat ini, Yunus mengakui bahwa rare earth yang merupakan produk samping dari pengolahan timah ini masih belum termanfaatkan.

Adapun, varian tertentu dari komoditas mineral ini diberlakukan sebagai bahan radio aktif yang manajemen dan regulasinya ada di bawah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).

Seperti diketahui, rare earth memang menjadi komoditas penting karena bisa menjadi bahan baku untuk sejumlah industri strategis seperti peralatan militer dan juga produk elektronika tingkat lanjut.

Baca Juga: Ganti teknologi smelter, Timah (TINS) akan terbitkan surat utang Rp 1,3 triliun

Rare earth pun ramai diperbincangkan di seputar perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat.

China, yang memiliki cadangan dan pasokan rare earth dominan di taraf global, menjadikan komoditas ini sebagai salah satu "senjata" dalam perang dagang tersebut, lantaran Negeri Paman Sam sangat tergantung pada pasokan rare earth.

Di sisi lain, menurut Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno, selama ini memang belum pernah ada eksplorasi yang secara khusus dikerjakan untuk mengolah potensi rare earth di tanah air. "Baru sekarang-sekarang saja, pas ada sentimen perang dagang," katanya.

Djoko memperkirakan, cadangan rare earth yang dimiliki Indonesia tidak lah besar. "Jumlahnya kecil, cuman nilainya tinggi. Jadi ini kan sedikit tapi berarti," kata Djoko.

Baca Juga: PT Timah (TINS) mengucurkan dana CSR hingga Rp 180,2 miliar dalam empat tahun

Kendalanya, lanjut Djoko, ada pada teknologi pengolahan. Menurutnya, rare earth memiliki ikatan kimia-mineral yang sangat kompleks untuk diolah, sedangkan teknologi yang ada di Indonesia masih ada dalam tahap pengolahan yang awal.

"Jadi membutuhkan teknologi tinggi, kita kan baru sampai teknologi yang sangat awal dalam pengolahan, belum berkembang," ungkap Djoko.

Namun, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin yakin, Indonesia dapat segera memiliki tempat dalam percaturan komoditas rare earth global. Pasalnya, Budi mengatakan bahwa holding industri pertambangan BUMN tersebut tengah melakukan persiapan.

Mulai dari riset cadangan, penggunaan teknologi, pengembangan industri dan serapan pasar, serta penjajakan kerja sama. "Kita sudah identifikasi, jadi pertama kan kita harus sudah mengerti dulu industrinya gimana," kata Budi.

Baca Juga: Semester 1, PT Timah (TINS) serap 60% belanja modal

Dia menyampaikan salah satu pihak yang akan diajak kerja sama adalah perusahaan dari China. Budi bilang, negeri tirai bambu itu dipilih lantaran saat ini menjadi negara dengan pengolahan rare earth yang paling masif dan maju di dunia.

Budi menyebut, China memasok 60%-70% rare earth dunia, yang berarti menjadi pemasok terbesar dari kebutuhan pasar global. "Ya karena mereka paling masif dan maju, juga mau ngasih teknologi. China juga produksi 60%-70% rare earth dunia," ujar Budi.

Ia bilang, rare earth memiliki sejumlah varian mineral yang dapat dipakai untuk kegunaan yang bervariasi. Oleh sebab itu, selain pada komoditas timah, Budi mengatakan saat ini pihaknya pun tengah fokus untuk melakukan proses ekstraksi rare earth pada komoditas nikel dan bauksit.

Selain itu, Inalum juga tengah melakukan kajian dan penghitungan soal tingkat cadangan, serta perkiraan volume rare earth yang dapat diproduksi. Paling tidak, Budi menyebut bahwa persiapan dan kajian pengelolaan rare earth ini membutuhkan waktu hingga 12 bulan-18 bulan ke depan.

"Sekarang kita lagi hitung, supaya angkanya pasti. Setelah itu baru putus pengembangannya bagaimana, kita mau kerja sama sama siapa, pakai teknologi apa," tandas Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×