Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
Namun, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin yakin, Indonesia dapat segera memiliki tempat dalam percaturan komoditas rare earth global. Pasalnya, Budi mengatakan bahwa holding industri pertambangan BUMN tersebut tengah melakukan persiapan.
Mulai dari riset cadangan, penggunaan teknologi, pengembangan industri dan serapan pasar, serta penjajakan kerja sama. "Kita sudah identifikasi, jadi pertama kan kita harus sudah mengerti dulu industrinya gimana," kata Budi.
Baca Juga: Semester 1, PT Timah (TINS) serap 60% belanja modal
Dia menyampaikan salah satu pihak yang akan diajak kerja sama adalah perusahaan dari China. Budi bilang, negeri tirai bambu itu dipilih lantaran saat ini menjadi negara dengan pengolahan rare earth yang paling masif dan maju di dunia.
Budi menyebut, China memasok 60%-70% rare earth dunia, yang berarti menjadi pemasok terbesar dari kebutuhan pasar global. "Ya karena mereka paling masif dan maju, juga mau ngasih teknologi. China juga produksi 60%-70% rare earth dunia," ujar Budi.
Ia bilang, rare earth memiliki sejumlah varian mineral yang dapat dipakai untuk kegunaan yang bervariasi. Oleh sebab itu, selain pada komoditas timah, Budi mengatakan saat ini pihaknya pun tengah fokus untuk melakukan proses ekstraksi rare earth pada komoditas nikel dan bauksit.
Selain itu, Inalum juga tengah melakukan kajian dan penghitungan soal tingkat cadangan, serta perkiraan volume rare earth yang dapat diproduksi. Paling tidak, Budi menyebut bahwa persiapan dan kajian pengelolaan rare earth ini membutuhkan waktu hingga 12 bulan-18 bulan ke depan.
"Sekarang kita lagi hitung, supaya angkanya pasti. Setelah itu baru putus pengembangannya bagaimana, kita mau kerja sama sama siapa, pakai teknologi apa," tandas Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News