Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
Sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan kerangka regulasi terkait produksi, pengolahan dan pemanfaatan tanah jarang di tanah air.
Yunus mungkapkan, tugas khusus untuk pengelolaan rare earth ini memang akan diserahkan kepada PT Timah Tbk. "Nanti akan diperintahkan kepada PT Timah, tapi perangkat regulasinya harus dibuat dulu," katanya.
Saat ini, Yunus mengakui bahwa rare earth yang merupakan produk samping dari pengolahan timah ini masih belum termanfaatkan.
Adapun, varian tertentu dari komoditas mineral ini diberlakukan sebagai bahan radio aktif yang manajemen dan regulasinya ada di bawah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).
Seperti diketahui, rare earth memang menjadi komoditas penting karena bisa menjadi bahan baku untuk sejumlah industri strategis seperti peralatan militer dan juga produk elektronika tingkat lanjut.
Baca Juga: Ganti teknologi smelter, Timah (TINS) akan terbitkan surat utang Rp 1,3 triliun
Rare earth pun ramai diperbincangkan di seputar perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat.
China, yang memiliki cadangan dan pasokan rare earth dominan di taraf global, menjadikan komoditas ini sebagai salah satu "senjata" dalam perang dagang tersebut, lantaran Negeri Paman Sam sangat tergantung pada pasokan rare earth.
Di sisi lain, menurut Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno, selama ini memang belum pernah ada eksplorasi yang secara khusus dikerjakan untuk mengolah potensi rare earth di tanah air. "Baru sekarang-sekarang saja, pas ada sentimen perang dagang," katanya.
Djoko memperkirakan, cadangan rare earth yang dimiliki Indonesia tidak lah besar. "Jumlahnya kecil, cuman nilainya tinggi. Jadi ini kan sedikit tapi berarti," kata Djoko.
Baca Juga: PT Timah (TINS) mengucurkan dana CSR hingga Rp 180,2 miliar dalam empat tahun
Kendalanya, lanjut Djoko, ada pada teknologi pengolahan. Menurutnya, rare earth memiliki ikatan kimia-mineral yang sangat kompleks untuk diolah, sedangkan teknologi yang ada di Indonesia masih ada dalam tahap pengolahan yang awal.
"Jadi membutuhkan teknologi tinggi, kita kan baru sampai teknologi yang sangat awal dalam pengolahan, belum berkembang," ungkap Djoko.