Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Industri manufaktur Indonesia sedang melemah. Indikator yang paling mudah dilihat tentu saja dari penyerapan bahan bakar sebagai penggerak mesin produksi. Pemakaian energi primer bagi sektor manufaktur seperti listrik dan gas menurun.
Ada apa dengan industri manufaktur kita? mengapa mereka mengerem untuk menyerap energi baik listrik dan gas bumi sebagai bahan bakar produksi. Apakah benar mesin-mesin yang ada sudah mereka matikan dan menggantinya dengan impor produk jadi yang lebih murah ketimbang harus mengeluarkan ongkos untuk energi?
Masalah lemahnya daya serap energi di industri manufaktur ikut memiliki efek berantai bagi perusahaan energi semacam PT Perusahaan Listrik Negara dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk.
Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk Gigih Prakoso mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang menghadapi kontribusi gas bumi yang masih rendah, di sisi lain, harga keekonomian gas juga penting bagi PGN.
Sebab, kata Gigih, pembangunan infrastruktur gas atau pipa gas tidak bisa mengandalkan dana dari pemerintah melalui APBN makanya saya. "Tugas kita kan tidak hanya mencetak profit, tetapi bagaimana membangun infrastruktur. Itu yang sedang kami hadapi, di Indonesia sekarang produksi gasnya sedang banyak sekitar 6.000 MMSCFD," ujar Gigih kepada Kontan.co.id di kantor Kontan belum lama ini.
Dari jumlah 6.000 mmscfd itu, kata Gigih sekitar setengahnya dipakai industri pupuk dan kelistrikan, sedangkan setengahnya lagi diekspor. "Karena memang tidak ada permintaan lagi, yang ada di dalam negeri kan hanya itu itu saja, PLN dan pupuk sisanya kita ekspor," imbuh dia.
Meskipun market belum ready dan harga gas belum ekonomis, PGN tetap harus membangun jaringan pipa gas ke seluruh Indonesia. Gigih membandingkan, panjang pipa gas di Indonesia dengan di China tentu sudah tertinggal jauh. China sudah memiliki 200.000 km panjang pipa gas, sedangkan Indonesia yang diwakili oleh PGN baru memiliki 10.000 km.
"Nah ini pesan-pesan kita yang harus disampaikan, apalagi sekarang ada konversi energi ke energi baru terbarukan," ujar dia.
Gigih menjelaskan, bahwa masyarakat harus diberikan informasi yang lengkap terkait konversi energi, yakni pemakaian gas bumi itu sebenarnya lebih efektif dan efisien untuk industri dan tentu saja lebih bersih.
Danny Praditya Direktur Komersial PGN menambahkan, pada dasarnya dengan bertumbuhnya industri manufaktur maka PGN juga ikut bertumbuh. Tetapi memang, sangat disayangkan jika kita lihat secara makro memang pertumbuhan industri manufaktur hanya sekitar 2%-4%.
"Sekarang berkembangnya permintaan gas tidak hanya dipengaruhi oleh sektor ESDM sendiri, tapi dari industri dan manufaktur," ujar dia.
Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN Dilo Selo Widagdo menjelaskan, pihaknya menduga bukan karena harga gas yang membuat industri manufaktur melemah, tetapi ada barang dari China yang murah sehingga mereka mematikan mesin produksi dan membeli produk China.
"Jadi kalau saya kasih diskon 30% harga gasnya, dibandingkan dengan harga produk dari China ketimbang produksi sendiri lebih murah, kan gak bisa dilawan," ujarnya.
Dilo mengatakan, pihaknya juga sedang sama-sama melakukan analisa atas fenomena yang terjadi pada industri manufaktur ini. Jika sektor industri manufaktur tidak bergerak, maka secara otomatis PGN juga sulit untuk bergerak.
"Ini memang kebijakan pemerintah, di satu sisi memberikan insentif subsidi yang cukup besar di harga jual energi sekunder tetapi di sisi primernya tidak ada insentif, padahal energi primer ini yang harusnya kita bawa ke end user pelanggan, yang membutuhkan energi primer. Boleh enggak subsidi dialihkan ke energi primer. Bentuk-bentuk kebijakan seperti harga DMO batubara, karena batubara ada DMO untuk listrik," ujar dia.