Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Edi Wibowo menjelaskan, terdapat beberapa kendala pengembangan biogas rumah tangga, di antaranya keberlanjutan sumber bahan baku hingga kompetitor LPG yang ketersediaan pasokannya lebih stabil.
“Pemanfaatan biogas di wilayah urban dimungkinkan dengan ada program scale-up biogas sektor industri yang dapat menggantikan peran gas alam atau yang bersumber dari sampah kota atau limbah cair sawit yang dimurnikan dan disalurkan ke jaringan-jaringan gas kota,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (7/12).
Baca Juga: PNM Dorong Pengolahan Biogas Jadi Kompos dan Bahan Bakar di Kampung Madani Cibodas
Sebagai upaya peningkatan pemanfaatan biogas, Kementerian ESDM melalui Direktorat Bioenergi telah merilis pengadaan biogas sesuai KBLI 35203 terkait pemanfaatan gas bio untuk bahan bakar lain yang diharapkan dapat mendorong pengembangan biogas lebih besar lagi.
Edi menyatakan, aturan izin usaha ini menjadi permulaan, karena pihaknya juga mengkaji regulasi-regulasi pendukung lainnya untuk mengupayakan pemanfaatan biogas yang lebih masif ke depannya.
Adapun Kementerian ESDM juga mendorong program biogas atau biometana bisa merasakan kucuran dana dari skema pendanaan Just Energy Transition Parnership (JETP) yang memobilisasi pendanaan hingga US$ 21,5 miliar atau lebih dari Rp 300 triliun dalam 3 tahun sampai 5 tahun ke depan.
Di dalam CIPP JETP terdapat 17 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bioenergi (PLTBio) yang masuk ke dalam daftar prioritas proyek JETP dengan estimasi investasi US$ 17,1 juta.
Namun, konteks biogas yang diharapkan mendapat pendanaan ini ialah pembangkit skala besar yang listriknya akan masuk ke dalam jaringan (grid) PT PLN.
Sedangkan untuk biogas skala kecil di pedesaan, Kepala Sekretariat JETP, Edo Mahendra menjelaskan, upaya peningkatan akses energi untuk perempuan dan masyarakat akar rumput akan didukung karena masuk ke dalam konsep framework transisi yang adil (just transition).
“Just Transition untuk bisa dioperasionalisasikan juga mempertimbangkan aspek gender dan masyarakat lokal yang terdampak transisi energi,” ujarnya ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (18/12).
Nah, khusus proyek biogas skala kecil, jika suatu badan usaha tertarik menjaring dana transisi yang adil dari JETP, rencana ini dapat didiskusikan secara regular. “Kita bisa diskusikan dengan teman-teman IPG, kalau pencari dana dan pemberi dana (IPG) mau terlibat, kita bisa saja jalani,” jelasnya.
Sejatinya, Pokmas Ngudi Tirto Lestari sudah memiliki perencanaan jangka panjang untuk memanfaatkan biogas eceng gondok secara komunal.
Targetnya Desa Ngemplak bisa mandiri energi dan berdaya dari hasil pemanfaatan gulma menjadi produk bernilai tambah.
Maka itu, Ketua Pokmas berharap dukungan pemerintah daerah maupun pusat bisa lebih besar terhadap inisiatif program yang telah dirancang dan dikembangkan warga selama dua dekade belakangan.
“Kami yakin biogas dari eceng gondok bisa berkelanjutan karena asumsi kami ketersediaan bahan bakunya akan terus bertambah. Dengan kondisi saat ini saja, bisa tahan 3 tahun hingga 4 tahun ke depan. Kalau produksi terus bertambah, pasokan eceng gondoknya bisa lebih daripada itu,” kata Turut.
Anggota Pokmas Ngudi Tirto Lestari Seksi Demplot, Dalmanto Ratno Tanoyo menegaskan akan terus berjuang meningkatkan akses energi dari biogas di kampung halamannya. Menurutnya selama ini warga selalu dininabobokan dengan LPG dan pupuk kimia yang harganya mahal dan bergerak fluktuatif.
“Padahal jika melihat manfaat jangka panjangnya, biogas ini dapat membantu memenuhi kebutuhan energi di rumah tangga sekaligus pupuk organik dengan sangat murah,” tegasnya.
*Liputan ini merupakan hasil kerjasama dengan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) yang didukung oleh United Nations Information Centres (UNIC) Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News