Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
Di lain pihak, Pitoyo salah satu warga Desa Ngemplak yang juga sebagai pengurus Kelompok Masyarakat Tirto Ngudi Lestari menilai satu digester portable saja belum mencukupi kebutuhan gas rumah tangganya sehari-hari.
Menurutnya kalau ada tiga hingga empat unit digester ukuran 0,5 kubik terpasang di rumahnya, besar kemungkinan kebutuhan LPG bisa digantikan sepenuhnya.
“Namun ini belum kesampaian karena terbentur dananya. Digester yang ada saat ini gratis, pemberian program Pertamina Patra Niaga Adi Sumarmo,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Sebagai gambaran, untuk menambah dua hingga tiga unit digester, Pitoyo harus menyiapkan anggaran sekitar Rp 5,4 juta karena satu unit membutuhkan investasi Rp 1,8 juta.
Selain dapat menghasilkan gas, gulma eceng gondok juga memproduksi bioslurry yakni ampas biogas yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Pitoyo yang sehari-hari bekerja sebagai petani sayur menilai pupuk eceng gondok lebih bagus karena membuat panen lebih cepat dan hasil tanamannya dapat hijau lebih lama.
Ketua Pokmas Ngudi Tirto Lestari, Turut Rajarjo menjelaskan, meski saat ini baru 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Sobokerto yang menggunakan biogas, dia berharap tahun depan bisa menggandakan pemanfaatan biogas eceng gondok dengan catatan ada bantuan pendanaan.
“Animo masyarakat besar sekali, hanya saja pengadaan digester ini masih mahal. Kami terus melakukan pendekatan ke berbagai pihak untuk membantu,” ceritanya.
Baca Juga: Pertamina Dorong Partisipasi Mahasiswa dalam Desa Energi Berdikari
Setiap bulannya Pokmas Ngudi Tirto Lestari dapat mengolah hampir 1.000 kilogram (kg) eceng gondok untuk kebutuhan biogas dan pupuk. Perinciannya, 712 kg untuk biogas di 19 KK dan 200 kg untuk pupuk.
Meski kelihatannya banyak, Turut menyatakan, pemanfaatan eceng gondok di Waduk Cengklik masih belum apa-apa. “Ini belum ada 1% dari seluruh gulma yang terbentang 10 hektare di waduk,” ujarnya.
Tadi adalah cerita suksesnya, namun 59 kilometer dari Waduk Cengklik ada program biogas yang pupus di tengah jalan karena pasokan bahan baku tidak lagi tersedia.
Sebelumnya Waduk Rawa Pening mengalami surplus gulma yang cukup serius. Namun, setelah dijadikan kawasan wisata, waduk itu dibersihkan secara berkala menggunakan alat berat, sehingga pasokan eceng gondok menjadi sulit.
Sarwoto, pemilik warung di sekitar Rawa Pening bercerita sempat menggunakan biogas dari eceng gondok selama 4 tahun. Meski hanya bisa menyala setengah jam, setidaknya dia bisa memiliki cadangan gas selain LPG.
Hanya saja setelah bahan baku susut, fasilitas biogasnya mangkrak dan akan dibongkar untuk memperluas warungnya.
“Biogas ini jadi tidak efektif karena eceng gondoknya sulit didapatkan, kalau mau paksa saya gunakan sebenarnya bisa saja, tetapi jatuhnya saya rugi waktu dan tenaga,” jelasnya.
Pemanfaatan biogas dari sampah organik kini tidak hanya dimanfaatkan di pedesaan saja, tetapi mulai ramai masuk ke kawasan urban, salah satunya di Jakarta.
Warga RW 12 Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur berhasil mengolah 1 ton sampah rumah tangga organik setiap bulannya untuk bahan bakar biogas. Hasil gas tersebut dialirkan untuk 15 KK dan dapat menghasilkan api hingga 3 jam tanpa berhenti.
Baca Juga: Dorong Ekonomi Hijau, Sejumlah Bank Pangkas Pendanaan ke Sektor Batubara