Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - BOYOLALI. Kini sejumlah ibu-ibu di Dukuh Turiban, Desa Sobokerto, Kecamatan Ngemplak, Boyolali bisa bernapas lebih lega ketika kelangkaan LPG melanda. Mereka terbantu pasokan gas cadangan dari biogas eceng gondok yang sudah dimanfaatkan setahun belakangan.
Pada tahap awal, biogas dari eceng gondok di Desa Sobokerto baru digunakan di 19 Kepala Keluarga (KK). Penggunaannya pun relatif mudah dan tidak membutuhkan lahan yang luas.
Di belakang rumah Sriyatun, seorang ibu rumah tangga, berdiri satu drum plastik setinggi 100 centimeter yang merupakan biodigester portable ukuran 0,5 kubik. Setiap dua hari sekali drum akan diisi cacahan eceng gondok sekitar 2,5 kilogram.
Baca Juga: Perluas Akses Energi Bersih, Pertamina Dorong Pertumbuhan Ekonomi Desa
Hasil fermentasi gulma ini akan menghasilkan gas metana dan karbon dioksida sebagai sumber energi menyalakan kompor.
Meski api biru hanya menyala setengah jam, inovasi ini cukup bisa diandalkan untuk mengamankan gas bakal memasak sarapan dan makan malam.
Jadi gas yang sudah habis dipakai memasak pada pagi hari, dapat terisi lagi untuk cadangan gas di malam hari karena proses fermentasi eceng gondok terus bekerja.
Sriyatun bercerita, biogas eceng gondok cukup membantu menghemat pengeluaran rumah tangga. Dari satu digester ukurang paling kecil saja, dia dapat mengurangi pembelian satu tabung LPG 3 kg setiap bulan.
Apalagi kalau LPG sedang langka, pasokan gas dari eceng gondok dapat membuat dapurnya tetap mengepul.
Baca Juga: Biomassa, Langkah Jitu Wujudkan Transisi Energi
“Di sini hanya ada empat warung yang jual LPG. Kalau barangnya habis baru bisa datang seminggu kemudian. Saat sulit begini harganya juga naik dari yang biasanya Rp 19.000 per tabung bisa menjadi Rp 23.000 – Rp 25.000 pertabung,” ceritanya di Basecamp Pokmas Ngudi Tirto Lestari, Boyolali Rabu (13/12).
Katanya, beberapa ibu-ibu juga ingin menggunakan biogas eceng gondok supaya bisa menambal kekurangan gas saat LPG langka.
Hanya saja karena pengadaan alatnya cukup mahal, keinginan itu masih jauh panggang dari api.
Akhirnya ibu-ibu di sana sesekali membeli gas dari eceng gondok pada Kelompok Masyarakat (Pokmas) Ngudi Tirto Lestari.
Satu ban berisikan gas dengan durasi 30 menit memasak dibanderol Rp 10.000.
Baca Juga: India Umumkan Penggunaan Biogas Wajib untuk Sumber Energi Domestik
Sejatinya selain dapat menyalakan kompor, biogas eceng gondok bisa diandalkan untuk mengurai sampah rumah tangga karena sayuran dan nasi sisa dapat langsung dicampur ke dalam drum digester.
Di lain pihak, Pitoyo salah satu warga Desa Ngemplak yang juga sebagai pengurus Kelompok Masyarakat Tirto Ngudi Lestari menilai satu digester portable saja belum mencukupi kebutuhan gas rumah tangganya sehari-hari.
Menurutnya kalau ada tiga hingga empat unit digester ukuran 0,5 kubik terpasang di rumahnya, besar kemungkinan kebutuhan LPG bisa digantikan sepenuhnya.
“Namun ini belum kesampaian karena terbentur dananya. Digester yang ada saat ini gratis, pemberian program Pertamina Patra Niaga Adi Sumarmo,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Sebagai gambaran, untuk menambah dua hingga tiga unit digester, Pitoyo harus menyiapkan anggaran sekitar Rp 5,4 juta karena satu unit membutuhkan investasi Rp 1,8 juta.
Selain dapat menghasilkan gas, gulma eceng gondok juga memproduksi bioslurry yakni ampas biogas yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Pitoyo yang sehari-hari bekerja sebagai petani sayur menilai pupuk eceng gondok lebih bagus karena membuat panen lebih cepat dan hasil tanamannya dapat hijau lebih lama.
Ketua Pokmas Ngudi Tirto Lestari, Turut Rajarjo menjelaskan, meski saat ini baru 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Sobokerto yang menggunakan biogas, dia berharap tahun depan bisa menggandakan pemanfaatan biogas eceng gondok dengan catatan ada bantuan pendanaan.
“Animo masyarakat besar sekali, hanya saja pengadaan digester ini masih mahal. Kami terus melakukan pendekatan ke berbagai pihak untuk membantu,” ceritanya.
Baca Juga: Pertamina Dorong Partisipasi Mahasiswa dalam Desa Energi Berdikari
Setiap bulannya Pokmas Ngudi Tirto Lestari dapat mengolah hampir 1.000 kilogram (kg) eceng gondok untuk kebutuhan biogas dan pupuk. Perinciannya, 712 kg untuk biogas di 19 KK dan 200 kg untuk pupuk.
Meski kelihatannya banyak, Turut menyatakan, pemanfaatan eceng gondok di Waduk Cengklik masih belum apa-apa. “Ini belum ada 1% dari seluruh gulma yang terbentang 10 hektare di waduk,” ujarnya.
Tadi adalah cerita suksesnya, namun 59 kilometer dari Waduk Cengklik ada program biogas yang pupus di tengah jalan karena pasokan bahan baku tidak lagi tersedia.
Sebelumnya Waduk Rawa Pening mengalami surplus gulma yang cukup serius. Namun, setelah dijadikan kawasan wisata, waduk itu dibersihkan secara berkala menggunakan alat berat, sehingga pasokan eceng gondok menjadi sulit.
Sarwoto, pemilik warung di sekitar Rawa Pening bercerita sempat menggunakan biogas dari eceng gondok selama 4 tahun. Meski hanya bisa menyala setengah jam, setidaknya dia bisa memiliki cadangan gas selain LPG.
Hanya saja setelah bahan baku susut, fasilitas biogasnya mangkrak dan akan dibongkar untuk memperluas warungnya.
“Biogas ini jadi tidak efektif karena eceng gondoknya sulit didapatkan, kalau mau paksa saya gunakan sebenarnya bisa saja, tetapi jatuhnya saya rugi waktu dan tenaga,” jelasnya.
Pemanfaatan biogas dari sampah organik kini tidak hanya dimanfaatkan di pedesaan saja, tetapi mulai ramai masuk ke kawasan urban, salah satunya di Jakarta.
Warga RW 12 Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur berhasil mengolah 1 ton sampah rumah tangga organik setiap bulannya untuk bahan bakar biogas. Hasil gas tersebut dialirkan untuk 15 KK dan dapat menghasilkan api hingga 3 jam tanpa berhenti.
Baca Juga: Dorong Ekonomi Hijau, Sejumlah Bank Pangkas Pendanaan ke Sektor Batubara
Ketua RW 12 Kelurahan Jatinegara, Irianto Garah menceritakan, pemanfaatan biogas baru berjalan dua tahun belakangan. Digester yang dapat memuat 25 kilogram (kg) sampah organik perharinya merupakan pemberian PT Pamapersada Nusantara.
“Setiap hari warga membantu menyetorkan sampah hasil pilah dapur berupa sisa makanan seperti nasi dan sayuran yang kemudian dimasukkan ke dalam mesin biogas. Kita menerima sampah dari seluruh warga tidak terbatas pada 15 KK pengguna biogas saja,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (18/12).
Pemanfaatan biogas di kawasan urban diakui Irianto tidak banyak mengalami tantangan. Soal lahan pun bukan jadi hambatan. Pasalnya, digester yang digunakan saat ini tidak terlalu besar. Di sisi lain, warga yang memanfaatkan biogas dapat menghemat penggunaan LPG hingga dua tabung setiap bulannya.
Meski dampak positif sudah konkret dirasakan, program ini tidak bisa serta-merta diperluas karena lagi-lagi terkendala pendanaan. Satu unit digester membutuhkan investasi sekitar Rp 25 juta.
Padahal potensi biogas di RW012 sangat besar di mana terdapat 3.673 KK yang setiap harinya menghasilkan sampah rumah tangga. Melihat kondisi ini, warga RW012 berencana secara mandiri mengumpulkan kas berjalan dalam Program Kampung Iklim (Proklim) demi menambah mesin digester.
Di sisi lain, Irianto terus melakukan pendekatan ke perusahaan swasta yang ada di sekitar untuk memajukan program biogas di RW012 Kelurahan Jatinegara. “Kami berharap dapat menambah dua unit sampai tiga unit lagi kalau bisa di tahun depan,” ujarnya.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah menyanyangkan biogas ini baru dimanfaatkan skala kecil di rumah tangga.
Baca Juga: Memacu Energi Ramah Agar Masa Depan Tetap Cerah
“Padahal timbulan sampah organik 50% dari rumah tangga. Namun masih banyak sampah organik yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (18/12).
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total timbulan sampah di 2023 sebesar 13,07 juta ton pertahun yang didominasi oleh sampah organik, khususnya sampah sisa makanan yang mencapai 41,5%.
Kurang lebih 44,3% dari sampah tersebut bersumber dari rumah tangga.
Selain itu, sampah organik juga merupakan kontributor terbesar dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca jika tidak terkelola dengan baik.
Berdasarkan data KLHK 2022, sebanyak 65,83% sampah di Indonesia masih diangkut lalu dibuang ke landfill.
Tumpukan sampah itu akan menghasilkan gas metana yang memperaparah krisis iklim lantaran metana lebih memerangkap panas di atmosfer dibanding karbon dioksida.
Di sinilah peran pemerintah daerah sangat krusial untuk memastikan sampah organik bisa selesai diolah langsung di sumbernya. Namun sayang, Fajri belum melihat komitmen serius dari pemerintah dalam pengelolaan sampah rumah tangga menjadi biogas maupun produk lain.
Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Edi Wibowo menjelaskan, terdapat beberapa kendala pengembangan biogas rumah tangga, di antaranya keberlanjutan sumber bahan baku hingga kompetitor LPG yang ketersediaan pasokannya lebih stabil.
“Pemanfaatan biogas di wilayah urban dimungkinkan dengan ada program scale-up biogas sektor industri yang dapat menggantikan peran gas alam atau yang bersumber dari sampah kota atau limbah cair sawit yang dimurnikan dan disalurkan ke jaringan-jaringan gas kota,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (7/12).
Baca Juga: PNM Dorong Pengolahan Biogas Jadi Kompos dan Bahan Bakar di Kampung Madani Cibodas
Sebagai upaya peningkatan pemanfaatan biogas, Kementerian ESDM melalui Direktorat Bioenergi telah merilis pengadaan biogas sesuai KBLI 35203 terkait pemanfaatan gas bio untuk bahan bakar lain yang diharapkan dapat mendorong pengembangan biogas lebih besar lagi.
Edi menyatakan, aturan izin usaha ini menjadi permulaan, karena pihaknya juga mengkaji regulasi-regulasi pendukung lainnya untuk mengupayakan pemanfaatan biogas yang lebih masif ke depannya.
Adapun Kementerian ESDM juga mendorong program biogas atau biometana bisa merasakan kucuran dana dari skema pendanaan Just Energy Transition Parnership (JETP) yang memobilisasi pendanaan hingga US$ 21,5 miliar atau lebih dari Rp 300 triliun dalam 3 tahun sampai 5 tahun ke depan.
Di dalam CIPP JETP terdapat 17 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bioenergi (PLTBio) yang masuk ke dalam daftar prioritas proyek JETP dengan estimasi investasi US$ 17,1 juta.
Namun, konteks biogas yang diharapkan mendapat pendanaan ini ialah pembangkit skala besar yang listriknya akan masuk ke dalam jaringan (grid) PT PLN.
Sedangkan untuk biogas skala kecil di pedesaan, Kepala Sekretariat JETP, Edo Mahendra menjelaskan, upaya peningkatan akses energi untuk perempuan dan masyarakat akar rumput akan didukung karena masuk ke dalam konsep framework transisi yang adil (just transition).
“Just Transition untuk bisa dioperasionalisasikan juga mempertimbangkan aspek gender dan masyarakat lokal yang terdampak transisi energi,” ujarnya ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (18/12).
Nah, khusus proyek biogas skala kecil, jika suatu badan usaha tertarik menjaring dana transisi yang adil dari JETP, rencana ini dapat didiskusikan secara regular. “Kita bisa diskusikan dengan teman-teman IPG, kalau pencari dana dan pemberi dana (IPG) mau terlibat, kita bisa saja jalani,” jelasnya.
Sejatinya, Pokmas Ngudi Tirto Lestari sudah memiliki perencanaan jangka panjang untuk memanfaatkan biogas eceng gondok secara komunal.
Targetnya Desa Ngemplak bisa mandiri energi dan berdaya dari hasil pemanfaatan gulma menjadi produk bernilai tambah.
Maka itu, Ketua Pokmas berharap dukungan pemerintah daerah maupun pusat bisa lebih besar terhadap inisiatif program yang telah dirancang dan dikembangkan warga selama dua dekade belakangan.
“Kami yakin biogas dari eceng gondok bisa berkelanjutan karena asumsi kami ketersediaan bahan bakunya akan terus bertambah. Dengan kondisi saat ini saja, bisa tahan 3 tahun hingga 4 tahun ke depan. Kalau produksi terus bertambah, pasokan eceng gondoknya bisa lebih daripada itu,” kata Turut.
Anggota Pokmas Ngudi Tirto Lestari Seksi Demplot, Dalmanto Ratno Tanoyo menegaskan akan terus berjuang meningkatkan akses energi dari biogas di kampung halamannya. Menurutnya selama ini warga selalu dininabobokan dengan LPG dan pupuk kimia yang harganya mahal dan bergerak fluktuatif.
“Padahal jika melihat manfaat jangka panjangnya, biogas ini dapat membantu memenuhi kebutuhan energi di rumah tangga sekaligus pupuk organik dengan sangat murah,” tegasnya.
*Liputan ini merupakan hasil kerjasama dengan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) yang didukung oleh United Nations Information Centres (UNIC) Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News