Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengeluarkan Surat Edaran No 01 tahun 2018 dan Surat Ketetapan No 3 tahun 2008 tentang Larangan Penggunaan Data Kependudukan Tanpa Hak atau Melawan Hukum untuk Keperluan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, Senin (10/12) para operator yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), kembali menandatangani perjanjian kerjasama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) untuk pemanfaatan data kependudukan untuk sektor telekomunikasi. Namun Ombudsman Republik Indonesia menanggapi dingin dua aturan baru BRTI dan perjanjian kerjasama tersebut.
Menurut Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman, saat ini tingkat kepercayaan masyarakat dan Ombudsman sudah mencapai titik nadir. Apapun aturan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak terlalu dipercaya lagi. Ketidakpercayaan tersebut lantaran Kominfo kerap mengganti aturan yang dibuatnya sendiri, terutama registrasi prabayar. Alamsyah menilai, hingga saat ini banyak korban akibat regulasi Kominfo tidak konsisten.
Masih banyak nomor kartu prabayar yang dijual di masyarakat dalam keadaan aktif. Padahal di dalam aturan Kominfo maupun BRTI jelas-jelas menyebutkan, seharusnya kartu yang dijual belum aktif."Dengan perjanjian sebelumnya dan peraturan yang ada seharusnya Kominfo sudah bisa menjalankan aturan registrasi prabayar ini dengan tegas. Namun kenyataannyaannya tidak. Kominfo tidak pernah menjatuhkan sanksi ke pelaku usaha. Kominfo hanya membuat peraturan, lalu beberapa waktu kemudian diubah," terang Alamsyah, dalam keterangan tertulis, Kamis (13/12). Daripadl repot-repot mengurus registrasi prabayar, Alamsyah meminta agar Dukcapil fokus untuk mendorong unit pelayanan mulai memanfaatkan card reader sehingga pelayanan yang menggunakan data kependudukan menjadi lebih baik.
Sularsi, Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengakui masih ada penyalahgunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam registrasi ulang kartu prabayar. YLKI menemukan ada satu NIK didaftarkan lebih dari ratusan nomor. Menurut Sularsi, operator yang menjual kartu prabayar langsung aktif hanya mementingkan bisnisnya semata, tanpa peduli terhadap konsumen. Sularsi mengatakan, seharusnya sebagai operator yang berbadan hukum di Indonesia, harus memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan konsumen prabayar. “Regulasi seharusnya tidak tebang pilih, tanpa diskriminasi. Penggunaan NIK tanpa hak seharusnya sudah masuk ranah pidana, karena mereka mencuri data pribadi masyarakat. Penegakan hukum yang melibatkan Polri menurut saya sangat penting dalam registrasi prabayar,” ujar Sularsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News