Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, tren investasi di EBT sejatinya mengalami penurunan.
Selain itu, kontribusi terbesar sejak 2015 adalah investasi untuk panas bumi dan hidro (air). Ini dikarenakan kedua jenis energi terbarukan tersebut yang mendominasi dalam susunan RUPTL PLN.
Kendati demikian, Fabby optimistis investasi EBT dapat semakin meningkat pada tahun depan seiring prospek RUPTL serta mulai konstruksinya sejumlah proyek listrik.
"Banyak perusahaan minat ke bisnis energi terbarukan serta proyek-proyek besar mulai konstruksi di 2022. Dengan kondisi yang membaik pasca Covid-19, potensi investasi bisa US$ 3 miliar hingga US$ 3,5 miliar," terang Fabby.
Komitmen menggenjot EBT turut disampaikan sejumlah perusahaan energi. Dalam catatan Kontan.co.id, Pertamina yang menganggarkan sekitar US$ 8 miliar untuk investasi EBT pada kurun 2020 hingga 2024.
Proyek-proyek yang disasar pun mayoritas ada di sektor panas bumi.
Baca Juga: Perusahaan tambang batubara gencar menggarap proyek hilirisasi dan energi hijau
SVP Downstream, Gas, Power, NRE Business Development & Portofolio Pertamina, Aris Mulya Azof mengatakan, Pertamina, masih mempunyai banyak wilayah kerja panas bumi.
Untuk itu, Pertamina menargetkan bisa meningkatkan kapasitas Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) dari semula 672 Mega Watt (MW) menjadi 1.128 Mega MW pada tahun 2026 nanti.
“Pertamina sudah cukup lama mempunyai keahlian dan kemampuan di bidang panas bumi ini dan Pertamina juga mempunyai banyak wilayah kerja panas bumi,” kata Aris.
Menurut Aris, program pengembangan panas bumi ini merupakan salah satu bagian dari rencana jangka panjang pengembangan energi baru terbarukan (EBT) perusahaan.