Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Indonesia, Malaysia dan Thailand sepakat untuk mengambil tindakan stabilisasi harga karet dunia. Untuk mengambil tindakan, ke tiga negara yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) itu sudah melakukan pertemuan di Bangkok, Thailand pada Rabu (15/8) lalu.
Rencana aksi itu mendapat dukungan penuh dari Menteri Perdagangan Indonesia, Gita Wirjawan. Mantan kepala Badan Penanaman Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu bilang, hasil pertemuan ITRC itu mengatur tentang adanya kebijakan implementasi dari Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) dan Supply Management Scheme (SMS).
Menurut Gita, asal muasal penurunan harga karet alam bersumber dari perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan Jepang, serta pertumbuhan ekonomi yang negatif pada triwulan ke-2 di kawasan Uni Eropa. Perlambatan ekonomi inilah yang mempengaruhi permintaan karet alam dari anggota ITRC.
Permintaan yang lemah itu membuat harga karet alam terseok hingga menyentuh harga US$ 279,52 per kilogram (kg) pada pertengahan Agustus. Harga tersebut menurun jauh dibandingkan harga tertinggi yang pernah dicapai selama tahun 2012, yaitu pada 12 Maret senilai US$ 387,93 per kg.
Dengan kebijakan AETS dan SMS secara bersama, anggota ITRC berharap harga karet alam kembali terdongkrak naik. “Langkah ini diharapkan akan menyeimbangkan kembali suplai dan permintaan dunia akan karet alam yang dihasilkan ketiga negara, sehingga petani karet mendapatkan remunerasi yang lebih seimbang antara biaya produksi dan harga jual,” kata Gita.
Implementasi dari AETS dan SMS rencananya akan dimonitor penuh oleh ITRC Monitoring and Surveillance Committee.
Perlu diketahui, implementasi AETS adalah, kebijakan berupa pengetatan atau pengurangan pasokan karet alam ke pasar dunia saat terjadi kelebihan pasokan saat permintaan sedikit. Sementara SMS adalah, pengendalian produksi karet di tingkat hulu atau di perkebunan untuk jangka panjang melewati peremajaan, diversifikasi kebun, peningkatan konsumsi di dalam negeri dan tidak membuka lahan perkebunan baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News