Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA, Menaikkan harga rokok tanpa perhitungan dan mekanisme yang jelas, akan merugikan industri dan tenaga kerja. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto mengungkapkan, kenaikan itu tidak didasari dengan pertimbangan dan riset yang jelas akan memukul industri dan para tenaga kerja.
“Pasalnya, pada kenaikan cukai sebesar 11,7 % saja sudah terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 32.279 orang pada kurun waktu 2012 sampai 2015. Apalagi bila dinaikkan sampai Rp 50 ribu harga per bungkus rokok, tentu kenaikan cukai berkali-kali lipat besarnya,” katanya.
Para tenaga kerja tersebut datang dari industri kretek yang merupakan industri padat karya. Ditambah, mayoritas dari mereka berpendidikan rendah. “Sehingga ketika dirumahkan, mereka tak mampu bersaing dan bekerja di industri lain. Dan ini sangat berbahaya,” jelasnya.
Seperti yang diketahui, riset kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu dikeluarkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM – UI). Riset itu memicu kekhawatiran dari industri, tenaga kerja, dan petani.
Sudarto meminta, seharusnya riset mencari jalan keluar yang bijak, bukan menyudutkan pihak-pihak tertentu. Dalam riset juga harus dicari jalan keluar. “Bila akibat riset itu banyak yang dirumahkan, siapa yang mau bertanggung jawab,” terang Sudarto.
Selain tenaga kerja, hal lain yang diakibatkan atas dampak kenaikan harga Rp 50 ribu adalah semakin banyaknya beredar rokok ilegal. Hingga saat ini, kata Sudarto, jumlah rokok ilegal berada di angka lebih dari 11 %. “Nantinya, tentu yang akan dirugikan adalah pemerintah karena penerimaan cukai akan turun,” ucapnya.
I Ketut Budiman Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) mengatakan, riset yang dilakukan oleh orang yang kontra rokok tentu akan membuahkan ketidakadilan. “Fokus mereka kan kesehatan, tapi bagaimana dengan tenaga kerja dan petani, apakah mereka pikirkan?” katanya.
Budiman menegaskan, saat ini produksi cengkeh di Indonesia sekitar 100 ribu sampai 110 ribu ton per tahun. “Dan sekitar 94 % diserap oleh industri rokok. Jika nanti industri itu terganggu akibat kenaikan harga ini, mau dikemanakan hasil cengkeh ini?” lanjutnya.
Budiman mengatakan, jumlah petani cengkeh di Indonesia mencapai 1 juta orang. Bila produksi mereka terganggu, tentu akan mendatangkan masalah baru. “Alangkah lebih baik bila riset seperti itu digunakan untuk solusi yang tepat. Jangan berat sebelah tanpa memperhatikan kehidupan orang lain,” tuturnya.
Hasan Aoni Aziz Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menegaskan, industri tidak terpengaruh dengan isu tersebut, “Sebab kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan harga secara semena-mena. Jadi isu mengenai kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkusnya itu kami anggap hoax,” ujarnya.
Aoni juga mempertanyakan metode riset yang menggunakan metode survei persepsi ini juga kurang tepat, sekarang apakah dengan kenaikan harga yang tinggi tersebut dapat menurunkan tingkat konsumsi rokok. Menurutnya, kenaikan harga seperti ini malah dapat menimbulkan kenaikan jumlah rokok ilegal.
Menurut Aoini, sebagai kepala lembaga milik negara, Hasbullah Thabrany (Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI), seharusnya tidak (mengeluarkan usulan) yang akan merugikan pemerintah. Usulan kenaikan ini akan merugikan banyak pihak, karena industri ini kaitannya banyak, baik yang langsung atau pun tidak langsung.
“Kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan secara sekonyong-konyong, ada mekanismenya dalam menaikkan harga rokok. Jadi kami tidak mau berandai-andai jika rokok sampai dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus,” sambungnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers Tax Amnesty, Senin (22/8) mengatakan, Kementerian Keuangan akan mengeluarkan kebijakan mengenai harga jual eceran dan tarif cukai rokok dengan sebelumnya memperhatikan Undang-undang (UU) Cukai, termasuk dalam rangka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017.
Hingga kini Kementerian Keuangan belum keluarkan kebijakan dan sedang dalam proses konsultasi dengan berbagai pihak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News