Reporter: Tantyo Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. PT Indosat Tbk (ISAT) pada 17 Juli lalu melayangkan surat kepada Kementerian Kominfo dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) terkait pengaturan tarif batas bawah untuk data.
Dalam seminar bertajuk "Mencari Tarif Data yang Ideal" yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF), Rabu (26/7), Indosat menyampaikan bahwa pendapatan yield data operator kian menurun dari tahun ke tahun. Yield data sendiri adalah total pendapatan data dibagi dengan total trafik data. Artinya, semakin tinggi yield data maka semakin tinggi efisiensi yang dilakukan oleh operator.
Alexander Rusli, CEO Indosat Ooredoo menyatakan, mekanisme pasar sudah tidak lagi bisa digunakan sebagai patokan di dalam persaingan tarif data operator. Maka dari itu, dibutuhkan regulator sehingga bisa membatasi tarif batas tersebut. "Kiat sukses dalam industri telekomunikasi ada tiga yaitu uang, teknologi dan regulasi," terang Alex di Jakarta, Rabu (26/7).
Indosat di kuartal I 2016 mencatatkan pendapatan yield data sebesar Rp 32.000 per Gb. Namun mengalami penurunan di kuartal III 2016 menjadi Rp 17.000 per Gb dan terus menurun menjadi Rp 14.000 per Gb di kuartal I 2017.
Namun Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan, pemerintah ke depannya tidak akan mengatur tentang penerapat tarif batas bawah data di industri telekomunikasi. "Jangan harap nanti ada Peraturan Menteri bahwa harganya sekian. Tidak akan, biarkan saja biar ada kompetisi," terang Rudiantara di Jakarta, Rabu (26/7).
Indonesia terlalu banyak operator yang terjun dalam industri telekomunikasi ini. Setidaknya ada sejumlah pemain besar di industri telekomunikasi selain Indosat, di antaranya Telkomsel, XL Axiata, Three Hutchinson, Smartfren.
Rudiantara menambahkan, idealnya hanya tiga sampai empat operator saja yang terjun dalam industri tersebut. Solusinya, untuk menekan jumlah tersebut agar para pemain melakukan konsolidasi atau bahkan bergabung (merger) agar mampu meningkatkan skala ekonomi masing-masing. "Biar meningkatkan skala ekonomi, jadi punya bargaining power yang lebih. Biar bisa lebih murah kalau ingin bangun infrastrukturnya," tambah Rudiantara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News