Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam sepekan terakhir nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus menguat. Tentunya banyak bisnis para emiten yang melantai di bursa efek yang mengalami keuntungan dengan penguatan rupiah ini, tapi tentunya tidak sedikit pula yang akan merugi.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut, konsekuensi positif dan negatifnya kenaikan nilai tukar rupiah di tiap perusahaan juga akan berbeda-beda.
Baca Juga: Penguatan rupiah di bawah Rp 14.000 per dolar AS dinilai pas dengan keseimbangan
"Karena nilai tukar rupiah sangat terkait dengan kondisi dan target finansial perusahaan. Tiap perusahaan akan punya ekspektasi atau persepsi nilai tukar ideal yang berbeda-beda tergantung kebutuhan atau kepentingan industrinya," ujar Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani kepada Kontan.co.id, Senin (8/6).
Shinta mencontohkan, seperti perusahaan berorientasi ekspor yang cenderung menginginkan nilai tukar yang tinggi dan penguatan nilai tukar yang berlangsung dalam kurun waktu panjang sehingga profit margin dan perusahaan punya cukup waktu untuk menyesuaikan efisiensi perusahaan atau produk ekspor di pasar ekspor ketika nilai tukar menguat.
"Sebaliknya, perusahaan yang memiliki kewajiban atau utang valas tinggi atau impor besar, apalagi bila mereka menghasilkan produk yang hanya dipasarkan di dalam negeri, umumnya menginginkan penguatan nilai tukar dalam kurun waktu yang relatif lebih cepat karena akan sangat meringankan beban impor, menciptakan profit margin yang lebih besar dan daya saing yang lebih tinggi di pasar domestik," jelas Shinta.
Shinta menjelaskan contoh lainnya misalnya, perusahaan lokal dengan local content tinggi dan hanya memasarkan produk di dalam negeri tanpa memiliki transaksi perdagangan internasional cenderung menginginkan nilai tukar tinggi dalam kurun waktu cukup lama untuk menjaga daya saing produknya terhadap produk impor di pasar domestik.
Baca Juga: Berhasil tembus level psikologis Rp 14.000 per dolar AS, rupiah dinilai rawan koreksi
Selain itu agar perusahaan punya cukup waktu untuk menyesuaikan diri terhadap peningkatan persaingan dagang di dalam negeri terhadap produk impor.
Tetapi menurutnya, perusahaan dengan local content rendah dan hanya memasarkan produk di pasar domestik justru menginginkan penguatan nilai tukar. "Singkatnya, tiap perubahan nilai tukar selalu menciptakan pihak yg diuntungkan dan dirugikan berapa pun nilai tukarnya menguat atau melemah. Ini natural," kata Shinta.
Shinta memaparkan, bagi pelaku usaha hal terpenting terkait nilai tukar rupiah adalah stabilitas dan prediktabilitas penguatan atau pelemahannya dalam kurun waktu tertentu. Menurutnya, penguatan atau pelemahan nilai tukar sebaiknya tidak terjadi secara tiba-tiba atau terlalu tajam dalam jangka pendek.
Baca Juga: Laba bersih Bank Mandiri naik 9,4% menjadi Rp 7,9 triliun di kuartal I 2020
Karena hal ini akan menciptakan miscalculation terhadap ekspektasi cashflow, financial planning dan mengganggu financial strategy perusahaan secara signifikan.
"Secara garis besar tidak ada patokan nilai tukar itu idealnya di level berapa rupiah per US$. Namun, saat ini sebagian besar pelaku usaha memakai asumsi nilai tukar di level sekitar 14.000/US$ dalam financial plan perusahaan atau sesuai dengan rata-rata nilai tukar tahun lalu," tuturnya.
Shinta juga mengungkapkan, yang perlu menjadi perhatian pemerintah pada kondisi penguatan nilai tukar seperti saat ini adalah seberapa cepat pelaku usaha nasional bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ekspektasi cashflow, beban finansial, perubahan produktifitas, dan daya saing produknya di pasar nasional dan internasional.
Menurut Shinta, kalau penguatan terjadi lebih cepat daripada kemampuan perusahaan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut, penguatan nilai tukar hanya akan menjadi tekanan lebih besar pada industri nasional yang saat ini saja sudah kesulitan survive.
Baca Juga: Pemerintah akan lebih hati-hati dalam mengelola RAPBN 2021
"Jadi, kecepatan penguatan rupiahnya juga harus diperhatikan dan disinkronisasikan dengan kecepatan perubahan penciptaan efisiensi, produktifitas dan daya saing perusahaan-perusahaan di dalam negeri agar tidak mematikan industri yang masih bisa bertahan, khususnya bila industri tersebut harus bersaing secara langsung dengan produk impor yang menjadi lebih murah karena penguatan rupiah," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News