Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Tendi Mahadi
Tetapi menurutnya, perusahaan dengan local content rendah dan hanya memasarkan produk di pasar domestik justru menginginkan penguatan nilai tukar. "Singkatnya, tiap perubahan nilai tukar selalu menciptakan pihak yg diuntungkan dan dirugikan berapa pun nilai tukarnya menguat atau melemah. Ini natural," kata Shinta.
Shinta memaparkan, bagi pelaku usaha hal terpenting terkait nilai tukar rupiah adalah stabilitas dan prediktabilitas penguatan atau pelemahannya dalam kurun waktu tertentu. Menurutnya, penguatan atau pelemahan nilai tukar sebaiknya tidak terjadi secara tiba-tiba atau terlalu tajam dalam jangka pendek.
Baca Juga: Laba bersih Bank Mandiri naik 9,4% menjadi Rp 7,9 triliun di kuartal I 2020
Karena hal ini akan menciptakan miscalculation terhadap ekspektasi cashflow, financial planning dan mengganggu financial strategy perusahaan secara signifikan.
"Secara garis besar tidak ada patokan nilai tukar itu idealnya di level berapa rupiah per US$. Namun, saat ini sebagian besar pelaku usaha memakai asumsi nilai tukar di level sekitar 14.000/US$ dalam financial plan perusahaan atau sesuai dengan rata-rata nilai tukar tahun lalu," tuturnya.
Shinta juga mengungkapkan, yang perlu menjadi perhatian pemerintah pada kondisi penguatan nilai tukar seperti saat ini adalah seberapa cepat pelaku usaha nasional bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ekspektasi cashflow, beban finansial, perubahan produktifitas, dan daya saing produknya di pasar nasional dan internasional.
Menurut Shinta, kalau penguatan terjadi lebih cepat daripada kemampuan perusahaan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut, penguatan nilai tukar hanya akan menjadi tekanan lebih besar pada industri nasional yang saat ini saja sudah kesulitan survive.
Baca Juga: Pemerintah akan lebih hati-hati dalam mengelola RAPBN 2021
"Jadi, kecepatan penguatan rupiahnya juga harus diperhatikan dan disinkronisasikan dengan kecepatan perubahan penciptaan efisiensi, produktifitas dan daya saing perusahaan-perusahaan di dalam negeri agar tidak mematikan industri yang masih bisa bertahan, khususnya bila industri tersebut harus bersaing secara langsung dengan produk impor yang menjadi lebih murah karena penguatan rupiah," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News