kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sebelum larang ekspor kelapa bulat, pemerintah diminta tetapkan harga batas bawah


Rabu, 02 Desember 2020 / 10:45 WIB
Sebelum larang ekspor kelapa bulat, pemerintah diminta tetapkan harga batas bawah
ILUSTRASI. Sebelum larang ekspor kelapa bulat, pemerintah diminta tetapkan harga batas bawah


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Wacana larangan ekspor kelapa bulat dinilai hanya menguntungkan industri dan merugikan petani. Karena itu, pemerintah diminta untuk mempertimbangkan kepentingan dua pihak yakni petani dan pengusaha sebelum melarang ekspor kelapa bulat.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKB, Abdul Wahid mengatakan, ketika wacana larangan ekspor kelapa bulat digulirkan oleh Ketua Komisi IV pihaknya langsung meresponsnya. "Saya langsung telpon dia juga Ketua Komisi VI (bidang industri) untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dari dapil saya , terutama dari Inhil,” kata Wahid yang berasal dari Dapil 2 Riau dalam keteranganya, Rabu (2/12).

"Inhil merupakan negeri hamparan kelapa, kabupaten pemilik lahan kelapa terluas di Indonesia," sambungnya.

Ia melanjutkan, pemerintah seharusnya membuat kebijakan lain sebelum melarang ekspor kelapa bulat. Abdul menyarankan ada kebijakan penetapan harga kelapa seperti pada kelapa sawit. Harus dibuat penetapan harga terendah. Kalau harga kelapa jatuh di bawah harga penetapan terendah maka harus ada lembaga semacam Bulog yang membeli kelapa petani.

“Kalau aturan soal harga kelapa ini sudah ada baru pemerintah bisa mengeluarkan larangan ekspor kelapa bulat. Kita sangat mendukung hilirisasi. Kita juga mau supaya Indonesia mengekspor produk olahan kelapa yang bernilai tambah tinggi. Tetapi dalam kondisi sekarang industri tidak sanggup membeli semua kelapa petani, juga harganya jauh di bawah kemampuan eksportir. Kalau tiba-tiba dilarang maka petani yang akan dirugikan,” kata Wahid lagi.

Baca Juga: Larangan ekspor kelapa bulat bisa merugikan petani

Tahun lalu industri kelapa global sempat menghentikan pembelian kelapa bulat. Harga kelapa petani langsung jatuh. “ Saat ini  banyak ditelepon masyarakat dari  dapil saya, petani kelapa banyak yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya. Ketika ada anggota keluarga yang sakit tidak mampu berobat,” katanya.

Indonesia memang tidak bisa terus menerus mengekspor kelapa bulat. Ekspor harus diubah menjadi produk olahan kelapa yang bernilai tambah tinggi. Industri harus diperbanyak dan efisien sehingga mampu menampung dan  membeli kelapa petani dengan harga seperti eksportir.

“Harus ada taha-tahap yang dilalui. Tidak bisa serta merta langsung melarang ekspor kelapa bulat karena akan merugikan petani,” katanya.

Wahid setuju  ada kebijakan melindungi industri kelapa lokal agar  bisa bertahan. Tetapi negara juga harus hadir untuk melindungi petani kelapa. Masalahnya bukan bahan baku yang kurang tetapi industri olahan kelapa dalam negeri tidak mampu bersaing dengan eksportir dalam mendapatkan kelapa dari petani.

Eksportir membeli langsung dari kebun petani. Mereka bisa membeli kelapa lebih mahal Rp500-700/butir dibanding industri dalam negeri. Selisih harga antara eksportir dan industri dalam negeri jauh sekali. Petani lebih suka jual ke eksportir.

Baca Juga: Kemtan sebut produksi buah kelapa tahun ini menurun

Industri kelapa lokal harus berbenah. Kenapa industri pengolahan kelapa global mampu membeli dengan harga lebih tinggi. Sudah puluhan tahun industri pengolahan kelapa lokal menikmati harga kelapa yang rendah.

Secara terpisah, Gamal Nasir, Dewan Pengawasa Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia, mantan Dirjen Perkebunan menyatakan saat ini Indonesia tercatat sebagai eksportir kelapa bulat juga olahan. “Memasuki pasar ekspor tidak mudah. Jadi kalau tiba-tiba dilarang pasar yang sudah susah payah ditembus ini akan diisi negara lain,” katanya.

Luas lahan kelapa Indonesia tercatat 3,7 juta ha, paling luas di dunia dan di Indonesia sendiri merupakan kedua terbesar setelah sawit. Bedanya kalau sawit rakyat 41% sedang kelapa 98%. Jadi kebijakan soal kelapa harus selalu memperhatikan kepentingan petani.

“Data yang ada benahi dulu. Berapa sebenarnya produksi kelapa dan kapasitas industri pengolahannya. Kalau benar terjadi kekurangan maka ekspor kelapa bulat boleh dilarang asal industri membeli sama dengan harga eksportir,” katanya.

Selanjutnya: Harga kopra melesat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×