Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) semakin terhempas oleh pandemi covid-19. Pemerintah tak tinggal diam melihat kondisi maskapai udara plat merah sedang terpuruk. Kementerian BUMN akan membantu GIAA melakukan restrukturisasi kewajibannya.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengungkapkan, restrukturisasi utamanya dilakukan terhadap para lessor atau terkait dengan penyewaan pesawat.
"Kami mencoba melakukan restrukturisasi terhadap Garuda. Restrukturisasi yang utama terutama terhadap pihak-pihak dimana Garuda punya utang kepada mereka. Kepada lessor," kata Arya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (26/5).
Sayangnya Arya belum membeberkan bagaimana skema restrukturisasi utang Garuda tersebut, serta kapan prosesnya akan berlangsung. Arya juga belum mengungkapkan peluang penyuntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Garuda.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung prihatin atas kondisi Garuda saat ini. Namun menurutnya, kondisi Garuda yang terpuruk tidak hanya akibat pandemi, melainkan akumulasi dari persoalan di masa lalu.
Baca Juga: Bisnis Penerbangan Kian Suram, Garuda dan Sriwijaya Air Pangkas Karyawan
Mengenai program pensiun dini karyawan yang ditawarkan manajemen Garuda, Martin meminta agar langkah tersebut tetap harus memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Martin menekankan efisiensi juga harus dilakukan di semua lini, termasuk dengan mengevaluasi jika ada kontrak yang bermasalah.
"Efisiensi dengan pengurangan karyawan harus diikuti dengan efisiensi di semua lini. Seluruh kontrak-kontrak dengan pihak ketiga yang bermasalah, apalagi bila ada potensi ketidakwajaran secara finansial, harus diusut tuntas dan bila mungkin dibatalkan," ungkap Martin.
Secara korporasi, pembenahan secara menyeluruh di tubuh Garuda mesti dilakukan. Lalu mengenai suntikan modal negara, Martin menyampaikan opsi tersebut masih terbuka. Hanya saja, itu akan menjadi pilihan sulit di tengah beban APBN sekarang.
"Suntikan dana itu bisa saja. Tapi harus dibarengi dengan pembenahan dan efisiensi besar-besaran di Garuda. Kalau tanpa efisiensi, akan menguras keuangan negara yang sangat besar. Padahal APBN kita tengah menghadapi pilihan-pilihan yang sulit di tengah tekanan akibat pandemi Covid-19," jelas Martin.
Pengamat Penerbangan Alvin Lie juga melihat suntikan modal negara menjadi pilihan sulit di tengah kondisi krisis seperti saat ini.
Menurutnya, pilihan yang harus ditempuh ialah dengan mencari win win solutions untuk merestrukturisasi utang.
Terutama untuk utang dengan porsi yang besar seperti bahan bakar atau avtur serta utang terkait sewa dan pengadaan pesawat. Apalagi jika utang tersebut masih sesama BUMN, seharusnya negosiasi bisa lebih lancar lantaran sama-sama mengemban misi pemerintah selain urusan bisnis.
"Sedangkan untuk lessor yang menyewakan pesawat atau lembaga pembiayaannya, saya yakin juga masih bisa negosiasi. Mereka juga mengalami masalah serupa dengan semua airline. Bagi mereka juga lebih baik mengurangi biaya atau menjadwal ulang cicilan, daripada menarik pesawat, itu tidak menguntungkan," terang Alvin.
Selain menjadwal ulang cicilan atau restrukturisasi utang, negosiasi dengan para lessor juga bisa dilakukan dengan membahas model bisnis baru yang memungkinkan untuk dikerjakan.
Baca Juga: Kinerja Garuda Indonesia (GIAA) masih menghadapi tekanan corona tahun ini
"Misalnya bagi hasil atau mungkin ada hal-hal lain. Kuncinya kesamaan untuk mencari solusi," sambungnya.
Selain mengurangi beban dan menekan biaya, Garuda juga dituntut untuk bisa mendongrak cash flow agar bisa di level positif. Artinya, pendapatan harus dikerek naik. Tak hanya memperbesar pendapatan dari segmen non-tiket, Alvin menyarankan agar Garuda lebih selektif dalam memilih rute penerbangan.
Dampak ke industri penunjang
Tak cukup hanya memilih rute penerbangan yang menguntungkan, penggunaan pesawat juga dituntut untuk rasional.
"Seperti Jakarta-Jogja yang jaraknya dekat dan penumpang tidak banyak, jangan menggunakan Airbus 330 karena load factor-nya tidak akan masuk," sambung Alvin.
Langkah serupa juga perlu dilakukan oleh maskapai pesawat lainnya yang sedang terseok-seok terhempas covid-19. Sebab, ambruknya perusahaan maskapai bisa membawa dampak terhadap industri penunjang. Seperti perawatan pesawat, catering dan pengelolaan bandara.
Alvin memberikan gambaran, pada perusahaan catering penerbangan misalnya, penghasilan sudah anjlok menjadi hanya tinggal 30% dari kondisi normal. Jasa layanan navigasi juga ikut terjepit lantaran keterlambatan pembayaran.
"Industri penunjang semuanya sudah terdampak, dan sudah melakukan rasionalisasi, efisiensi, bahkan mengurangi kegiatan bisnis," ungkap Alvin.
Untuk jasa tertentu seperti penyediaan catering pesawat, model bisnisnya lebih fleksibel lantaran masih bisa mengalihkan supply ke perusahaan atau industri lain. Namun untuk jasa lainnya seperti perawatan pesawat, pergeseran bisnis sulit dilakukan.
"Kan tidak bisa serta merta beralih dari perawatan pesawat ke perawatan mobil atau motor. Bandara juga sulit, bukan saja dari sisi pendapatan turun, tenant-tenant juga banyak yang tutup karena sepi penumpang," pungkas Alvin.
Selanjutnya: Ditawari pensiun dini, begini respons serikat karyawan Garuda Indonesia (GIAA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News