Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
"Misalnya bagi hasil atau mungkin ada hal-hal lain. Kuncinya kesamaan untuk mencari solusi," sambungnya.
Selain mengurangi beban dan menekan biaya, Garuda juga dituntut untuk bisa mendongrak cash flow agar bisa di level positif. Artinya, pendapatan harus dikerek naik. Tak hanya memperbesar pendapatan dari segmen non-tiket, Alvin menyarankan agar Garuda lebih selektif dalam memilih rute penerbangan.
Dampak ke industri penunjang
Tak cukup hanya memilih rute penerbangan yang menguntungkan, penggunaan pesawat juga dituntut untuk rasional.
"Seperti Jakarta-Jogja yang jaraknya dekat dan penumpang tidak banyak, jangan menggunakan Airbus 330 karena load factor-nya tidak akan masuk," sambung Alvin.
Langkah serupa juga perlu dilakukan oleh maskapai pesawat lainnya yang sedang terseok-seok terhempas covid-19. Sebab, ambruknya perusahaan maskapai bisa membawa dampak terhadap industri penunjang. Seperti perawatan pesawat, catering dan pengelolaan bandara.
Alvin memberikan gambaran, pada perusahaan catering penerbangan misalnya, penghasilan sudah anjlok menjadi hanya tinggal 30% dari kondisi normal. Jasa layanan navigasi juga ikut terjepit lantaran keterlambatan pembayaran.
"Industri penunjang semuanya sudah terdampak, dan sudah melakukan rasionalisasi, efisiensi, bahkan mengurangi kegiatan bisnis," ungkap Alvin.
Untuk jasa tertentu seperti penyediaan catering pesawat, model bisnisnya lebih fleksibel lantaran masih bisa mengalihkan supply ke perusahaan atau industri lain. Namun untuk jasa lainnya seperti perawatan pesawat, pergeseran bisnis sulit dilakukan.
"Kan tidak bisa serta merta beralih dari perawatan pesawat ke perawatan mobil atau motor. Bandara juga sulit, bukan saja dari sisi pendapatan turun, tenant-tenant juga banyak yang tutup karena sepi penumpang," pungkas Alvin.
Selanjutnya: Ditawari pensiun dini, begini respons serikat karyawan Garuda Indonesia (GIAA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News