kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.917.000   -7.000   -0,36%
  • USD/IDR 16.220   -84,00   -0,52%
  • IDX 7.893   101,21   1,30%
  • KOMPAS100 1.117   11,96   1,08%
  • LQ45 830   6,60   0,80%
  • ISSI 263   5,24   2,03%
  • IDX30 429   3,31   0,78%
  • IDXHIDIV20 492   4,68   0,96%
  • IDX80 124   0,93   0,75%
  • IDXV30 128   0,92   0,73%
  • IDXQ30 138   1,74   1,27%

Sederet Efek Penggunaan Biodiesel B40 Dirasakan, Industri Tambang Minta Evaluasi


Rabu, 13 Agustus 2025 / 18:50 WIB
Sederet Efek Penggunaan Biodiesel B40 Dirasakan, Industri Tambang Minta Evaluasi
ILUSTRASI. Petugas bersiap melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Biosolar di SPBU COCO Jalan Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). Kementerian ESDM mencatat pada semester I 2025 implementasi program biodiesel mengandung 40 persen bahan bakar nabati berupa minyak kelapa sawit dan 60 persen solar atau B40 telah mencapai 6,8 juta kiloliter, atau 50,4 persen dari target tahunan sebesar 13,5 juta kiloliter. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri pertambangan di dalam negeri mengeluhkan sejumlah efek samping dari penerapan kebijakan mandatori biodiesel B40 atau campuran 40% minyak kelapa sawit (CPO) dengan 60% bahan bakar solar. 

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia, pihaknya bersama beberapa asosiasi industri pertambangan telah menyampaikan surat bersama kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait evaluasi pelaksanaan B40.

"Inti surat tersebut, para asosiasi yang bertandatangan memohon ke Pemerintah agar segera melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan kebijakan B40 dan mempertimbangkan kembali rencana pelaksanaan kebijakan B50," ungkap Hendra kepada Kontan, Rabu (13/08/2025).

Menurutnya penerapan B40, apalagi setelah subsidi bagi pengguna non public service obligation (PSO) semakin membebani biaya operasional perusahaan pertambangan mineral dan batubara di tengah tren harga yang menurun dan meningkatnya beban biaya operasional.

"Dengan tambahan beban biaya perusahaan semakin kesulitan untuk menjaga arus kas serta dapat berdampak terhadap rencana investasi," tambahnya.

Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Sedang Godok Regulasi Baru Soal Harga Biodiesel B40

Tak hanya itu, Hendra juga menyebut penggunaan biodiesel B40 berkaitan pula pada kebijakan pabrikan alat berat, khususnya keputusan pemberian garansi.

"Kekhawatiran lain dari kebijakan campuran biofuel dan solar adalah bahwa sejauh ini tidak ada pabrikan alat berat yang memberikan garansi terhadap penggunaan biofuel di atas campuran 10%," ungkap dia.

Hal senada juga diungkap oleh Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI). Menurut Direktur Eksekutif APBI Gita Mahyarani, terdapat peningkatan biaya produksi karena penggunaan B40.

"Cost produksi untuk kenaikan ini beragam, rangenya kurang lebih Rp 2.800/liter. Namun pemakaiannya (biodiesel) kan sangat besar. Kenaikan tersebut belum termasuk biaya maintenance dan untuk penggantian filter," jelas Gita.

Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Tambahan Subsidi Biodiesel B40 Hingga Rp 16 Triliun

Bersama dengan IMA, Gita bilang APBI juga telah menyampaikan surat evaluasi terkait penerapan B40.

"Pada prinsipnya upaya untuk pengurangan emisi tentunya kami dukung, tapi harus juga mempertimbangkan hal esensial lainnya, seperti kenaikan harga yang signifikan," kata dia.

Sebagai tambahan, golongan PSO dan non-PSO pengguna biodiesel tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 24 Tahun 2021.

Baca Juga: Kementerian ESDM: Program B40 Tahun 2025 Butuh 14,2 Juta Ton CPO

Industri yang termasuk kategori Non-PSO atau tidak mendapatkan subsidi yang berasal dari Pungutan Ekspor (PE) sawit yang dikumpulkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) adalah sebagai berikut:

1. Industri manufaktur (misal: pabrik tekstil, semen, pupuk, makanan dan minuman, dan industri pengolahan lainnya yang menggunakan solar sebagai bahan bakar operasional);

2. Industri pertambangan (misal: tambang batu bara, mineral, dan migas yang menggunakan solar untuk alat berat dan kendaraan operasional);

3. Industri perkebunan dan kehutanan (misal: perkebunan kelapa sawit, karet, dan kehutanan yang menggunakan solar untuk alat berat dan transportasi internal);

4. Sektor komersial lainnya (misal: hotel, rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan fasilitas komersial yang menggunakan genset berbahan bakar solar);

5. Transportasi logistik dan angkutan barang non-subsidi;

6. Sektor konstruksi (misal: proyek infrastruktur yang menggunakan alat berat berbahan bakar solar);

7. Sektor perikanan non-subsidi dan pelayaran komersial non-PSO.

Baca Juga: Serapan B40 Semester I-2025 Capai 6,8 Juta KL, Bahlil Optimistis Target Tercapai

Selanjutnya: Transisi PSAK 117, Industri Asuransi Dapat Ekstra 15 Hari Lapor Keuangan

Menarik Dibaca: Jadwal Pertandingan Final UEFA Super Cup 2025: PSG vs Tottenham (14/8/2025)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×