Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal
KONTAN.CO.ID - Pernahkah Anda membayangkan hidup tanpa bensin, pupuk, detergen, bahkan plastik? Pastinya sangat sulit.
Memang, penggunaan petrokimia sangat esensial bagi kehidupan manusia sejak zaman Mesir Kuno, contohnya zat ethylene untuk perangsang tanaman atau aspal untuk pembangunan piramida lewat proses pembalseman.
Pada tahun 1900-an, industri petrokimia mulai berkembang ketika seorang ahli industri bernama John D. Rockefeller, membuka pabrik di New Jersey, Amerika Serikat bernama Standard Oil Company dengan memproduksi propylene (kini digunakan untuk bahan dasar skincare). Dari pembangunan tersebut, industri petrokimia berkembang melewati berbagai zaman.
Pasca Perang Dunia I, industri pertanian dan perkebunan mulai mengoperasikan mesin dan bahan-bahan kimia (agrochemical) untuk meningkatkan hasil produksi. Al hasil, industri produk petrokimia meningkat pesat tahun 1920 sampai 1930-an.
Kemudian, selama Perang Dunia II, minyak diproduksi dalam jumlah besar sebagai bahan bakar dan pelumas. Lebih dari 80% aviation gasoline berbahan dasar petrokimia digunakan Sekutu AS untuk memproduksi karet sintetis, minyak obat, dan perlengkapan militer lainnya.
Plastik: “Emas” Petrokimia
Setelah Perang Dunia II, permintaan produk minyak bumi meningkat pesat di Amerika Serikat. Pada tahun 1950 saja, produk minyak bumi yang berhasil diproduksi mencapai 2,5 miliar barel, angka ini naik dibanding tahun 1946 yang “hanya” memproduksi 1,75 miliar barel. Alasan penggunaan plastik menjadi penyebab utamanya.
Industri pengemasan sangat memerlukan petrokimia sebagai bahan baku plastik untuk keperluan insulasi, cetakan, pipa, atap, dan kusen. Setelah pengemasan, industri mobil dan truk pun ikut bergantung plastik sebagai bahan bakunya.
Pada akhir 1950-an, petrokimia menjadi sektor industri terbesar sebagai sumber ekonomi dan transportasi. Tidak jarang industri ini menjadi isu politik nasional dan internasional karena punya kontrol besar bagi banyak negara.
Setelah masa keemasannya, industri petrokimia mulai goyah oleh isu lingkungan yang muncul pada 1960 sampai 1970-an. Industri ini dianggap mencemari lingkungan yang berdampak luas bagi masyarakat dan petrokimia pun tumbuh secara lambat.
Di Eropa dan Asia, industri ini juga mengalami penurunan karena beberapa faktor, seperti over capacity, permintaan gas alam yang melebihi pasokan, krisis Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) 1979, dan resesi ekonomi di AS. Sebagai solusinya, pada 1980 hingga 1990-an, banyak perusahaan akhirnya merestrukturisasi industri petrokimia seperti Shell dan Mobil Oil untuk memperkuat posisi mereka di pasar.
Titik Sumber Bahan Baku Industri Petrokimia
Di akhir abad ke-20, ada sekitar satu juta sumur minyak di lebih dari seratus negara dengan total produksi mencapai lebih dari 20 miliar barel per tahun. Arab Saudi dan negara Timur Tengah dipercaya memiliki 41% total cadangan minyak dunia, diikuti Amerika Utara dan Eropa Timur.
Dengan jumlah tersebut, banyak peneliti yakin 77% total minyak dunia sudah ditemukan dan bisa dieksplor. Sedangkan sisanya berada di ladang sempit, sehingga sulit dieksplore karena masalah biaya.
Namun, selama dua dekade terakhir, Tiongkok berhasil menjadi pemain baru dalam industri petrokimia. Keberhasilan itu tak lepas dari percepatan industri yang membuat harga petrokimia menjadi lebih kompetitif. Status tersebut juga membuat Tiongkok menjadi salah satu produsen petrokimia terbesar di dunia hingga saat ini.
Sumber: TubanPetro
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News