kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Sektor energi dinilai lebih siap lakukan transisi energi dibanding sektor kehutanan


Rabu, 01 Desember 2021 / 20:40 WIB
Sektor energi dinilai lebih siap lakukan transisi energi dibanding sektor kehutanan
ILUSTRASI. Sektor energi dinilai lebih siap lakukan transisi energi dibanding sektor kehutanan


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Industri energi dinilai paling siap melakukan transisi energi dibandingkan sektor kehutanan. Hal ini disampaikan oleh Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Marves, Tubagus Nugraha. 

Dia melihat bahwa kesiapan sektor energi dalam melaksanakan transisi energi tercermin dari upaya dan inisiatif yang sudah dilakukan industri energi sampai dengan saat ini. 

Tubagus mengatakan dari data yang sudah tercatat sebelumnya, sektor energi adalah sektor yang paling agresif dan paling siap melakukan transisi energi. 

"Ini memang yang menjadi perhatian, dari beberapa data yang saya lihat,  bahwa pengalaman proyek-proyek Coalbed methane (CBM) sudah ada hampir 147 proyek dengan nilai investasi sampai US$ 5,3 miliar dan menyumbang penurunan CO2 atau emisi karbon 34 juta ton, ini menurut data dari CBM Pipeline  Kemudian dalam Joint Credit Mechanisme (JCM) terdapat  38 proyek," jelasnya dalam webinar bertajuk “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Batubara” pada Rabu (1/12). 

Baca Juga: Energi terbarukan berbasis sawit dinilai akan jadi alternatif krisis energi global

Di sisi lain, Tubagus juga melihat bahwa pembangunan infrastruktur renewable energy merupakan pertimbangan yang paling besar dalam menilai sektor energi adalah sektor yang paling agresif, paling mungkin, dan paling cepat mengimplementasikan transisi energi.  

Sekjen APBI, Haryanto Damanik memaparkan, melansir data yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa sektor kehutanan merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK), baru kemudian disusul dari sektor energi, pertanian, dan sektor lainnya.

"Saat ini, anggota APBI sudah melakukan pengelolaan lingkungan antara lain menggunakan biofuel untuk kegiatan penambangan, menggunakan EBT seperti solar panel di mess karayawan, hingga melakukan reklamasi pasca-tambang," jelasnya. 

Bahkan, upaya reklamasi ini menurut data ESDM telah terealisasi melebihi dari target. Haryanto memaparkan, pada 2020 reklamasi yang terealisasi mencapai  9.730 hektare dari target sebelumnya ditetapkan 7.000 hektare.

Baca Juga: Industri batubara hadapi tantangan dari aspek pendanaan

Tak hanya itu, para pelaku industri energi mengupayakan teknologi ramah lingkungan seperti teknolgi ultra super critical pada PLTU sehingga lebih efisien dan emisi yang dikeluarkan jauh lebih rendah. 

Haryanto memaparkan, setelah perhelatan COP26, sektor batubara menjadi perhatian seluruh dunia yang dianggap mempengaruhi peningkatan gas emisi rumah kaca. Bahkan seruan phase out PLTU berbasis batubara mengemuka yang pada akhirnya kebijakan menjadi phasing down. 

Upaya phasing down PLTU batubara sebenarnya sudah dimulai dengan penghentian izin baru pembangunan pembangkit secara bertahap, pengembangan biomassa energi, rofftop solar panel, geothermal, dan lainnya.  

Sejatinya, Haryanto mengatakan bahwa APBI mendukung upaya dan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menuju net zero emisson. 

"Namun tentunya, perlu diperhatikan kembali dan dikaji kembali untuk  menyikapi dampak perubahan iklim terhadap kelangsungan industri batubara. Dampak tersebut perlu mempertimbangkan kepastian investasi dan keekonomian," tegasnya. 

Koordinator Pengawasan Operasi Produksi dan Pemasaran Batubara Ditjen Minerba, Dodik Ariyanto mengatakan, kebijakan yang disusun oleh ESDM tidak dapat dilepaskan dari kebijakan energi nasional yang saat ini sedang disusun. 

Baca Juga: Pemerintah Indonesia dan Jerman kerja sama dorong implementasi energi terbarukan

"Informasi yang kami peroleh, penggunaan batubara untuk pembangkit direncanakan akan berkahir pada 2060. Namun demikian kami masih menunggu dokumen resmi maupun kebijakan resmi terkait dengan pengurangan batubara tersebut," jelasnya. 

Dodik menerangkan, kebijakan batubara tidak bisa dilepaskan dari cukup banyaknya cadangan dan sumber daya yang tersedia saat ini, yakni sebanyak 39 miliar ton cadangan batubara. Tingkat produksinya sekitar 600 juta ton sampai dengan 700 juta ton dan diperkirakan cadangan batubara Indonesia sampai dengan 2045 masih ada 22 miliar ton. Angka ini dapat berubah sewaktu-waktu jika ditemukan sumber baru lainnya. 

"Hal ini tentunya perlu dipertimbangkan, bahwa industri  batubara saat ini masih diharapkan sebagai salah satu pendorong ekonomi nasional," kata Dodik. 

Dodik kembali menegaskan, saat ini Indonesia memiliki cadangan batubara yang sangat besar dan harus dimanfaatkan sebagai penggerak ekonomi nasional. Adapun pihaknya, mendorong dan mendukung hilirisasi batubara agar digunakan sebagai sumber energi lainnya serta menggunakan teknologi Carbon Capture, Utilizaton and Storage (CCUS) sebagai solusi pengurangan emisi dan Carbon Capture and Storage (CCS). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×