kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Separuh kuota produksi IUP provinsi merosot di tahun ini, bagaimana dampaknya?


Selasa, 12 Maret 2019 / 19:03 WIB
Separuh kuota produksi IUP provinsi merosot di tahun ini, bagaimana dampaknya?


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kuota produksi batubara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) provinsi pada tahun 2019 ini merosot sekitar 50% dari realisasi produksi tahun lalu. Penurunan itu terjadi di 10 provinsi yang merupakan produsen utama batubara Indonesia.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan, penurunan tersebut merupakan konsekuensi dari pemenuhan wajib pasok dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) yang tak sesuai target.

Bambang bilang, hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dan berdasarkan sejumlah pertimbangan. "Kementerian ESDM dalam mengenakan sanksi pemotongan produksi batubara yang disebabkan ketidak tercapaian pemenuhan kewajiban DMO" kata Bambang saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, kemarin, Senin (11/3).

Akibatnya, perusahaan pemegang IUP daerah terkena dampak yang paling signifikan karena memasok DMO dengan presentase paling kecil. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, total produksi batubara IUP daerah tahun lalu mencapai 211,27 juta ton.

Namun, pemenuhan DMO IUP daerah hanya mencapai 24,15 juta ton atau 70,6% dari target. Pada tahun ini, lanjut Bambang, kuota produksi total yang diusulkan oleh IUP daerah sebesar 282,99 juta ton. "Namun kami hanya berikan persetujuan rencana produksi tahun ini sebesar 105,79 juta ton," ujar Bambang.

IUP daerah tersebut tersebar di 10 provinsi, yakni di Jambi, Sumatera Selatan (Sumsel), Bengkulu, Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan (Kalsel), Aceh, Riau, Kalimantan Utara (Kaltara), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Sumatera Barat (Sumbar). Dari 10 provinsi itu, Kaltim dan Kalsel tercatat sebagai provinsi dengan produksi terbesar.

Pada tahun 2019 ini, kuota produksi batubara Kaltim tercatat 33,28 juta ton, melorot dari realisasi produksi tahun lalu yang sebesar 69,64 juta ton. Sedangkan untuk Kalsel, kuota produksi tahun 2019 merosot menjadi 32,18 juta ton dari realisasi produksi tahun lalu yang mencapai 78,05 juta ton.

Sementara itu, realisasi DMO dari IUP Kaltim tahun lalu tercatat 8,32 juta ton. Sedangkan Kalsel sebesar 8,04 juta ton. Secara total, realisasi produksi batubara dari 10 provinsi tersebut sebesar 211,27 juta ton.

Jumlah itu setara dengan 37,93% dari total realisasi produksi nasional tahun lalu yang mencapai 557 juta ton. "Tahun ini kuota produksi batubara (dari IUP provinsi) sebesar 105,78 juta ton," ujar Bambang.

Bambang mengatakan, pemotongan produksi tersebut telah sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 23 K/30/MEM/2018 yang kemudian diperjelas dalam Surat Menteri ESDM Nomor 2841/30/MEM.B/2018 tanggal 8 Juni 2018.

Dalam Surat tersebut, lanjut Bambang, perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO hanya akan diberikan persetujuan tingkat produksi tahun 2019 sebesar empat kali dari realisasi pemenuhan DMO tahun 2018.

Hanya saja, Bambang menyebut bahwa pihaknya menambahkan pertimbangan lain dalam menjatuhkan sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut. Setidaknya ada empat pertimbangan yang dimaksudkan. Pertama, terkait dengan target penerimaan bukan pajak berupa iuran produksi dari subeektor mineral dan batubara.

Kedua, menjaga iklim investasi, terutama bagi perusahaan yang telah melakukan investasi dalam jumlah yang cukup besar. Ketiga, ketergantungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari batubara.

Keempat, mempertimbangkan potensi pengurangan tenaga kerja lokal serta dana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Kendati demikian, Bambang memastikan pihaknya tetap tidak memberikan kuota produksi sesuai dengan yang diajukan oleh perusahaan yang tak memenuhi kewajiban DMO tahun lalu.

"Namun demikian, persetujuan tingkat produksi tahun 2019 bagi perusahan yang tidak memenuhi DMO tahun 2018 lebih kecil daripada usulan perusahaan," ujarnya.

Bambang mencontohkan, pada tahun ini pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) mengusulkan rencana produksi sebesar 355,03 juta ton. Namun, bersetujuan hanya 324,89 juta ton.

Sedangkan IUP PMA mengusulkan produksi 44,37 juta ton, namun hanya disetujui 32,46 juta ton. Sementara IUP daerah mengusulkan produksi sebesar 282,99 juta ton, tapi hanya disetujui 105,79 juta ton.

Sehingga, jika mengikuti usulan dari perusahaan, jumlah target produksi pada tahun ini mencapai 708,40 juta ton. Namun dalam RKAB tahun 2019 hanya tercantum sebesar 489,13 juta ton.

Dilema Pengendalian Produksi

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengungkapkan, pemotongan kuota produksi ini mengundang permasalahan bagi IUP. Sebab, pemegang IUP CnC (Clear and Clean), terutama yang akan masuk ke tahap produksi telah mengeluarkan investasi yang tak sedikit untuk coal proceesing plat (CPP) dan infrastruktur lainnya.

"Dengan dasar pemenuhan DMO, jelas di luar memperhitungkan IUP baru yang masuk ke tahap produksi. Padahal, masalah DMO ini bukan lah kesalahan pihak penambang saja," ungkapnya saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (12/3).

Singgih mengatakan, tidak terpenuhinya DMO ini bisa jadi disebabkan oleh sejumlah faktor. Seperti ketidak cocokan kualitas batubara, hingga kapasitas armada angkutan yang tidak sesuai dengan pelabuhan bongkar.

Menurut Singgih, idealnya dalam menetapkan kuota ini bukan pada tahun berjalan, namun pada dua hinga tiga tahun ke depan. "Sehingga oleh IUP dapat memproyeksikan besaran investasi yang akan ditetapkan," jelasnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia bahkan menilai pemotongan kuota produksi IUP Provinsi ini memiliki dilema tersendiri.

Hendra mengatakan, pemotogan produksi ini pasti akan berdampak terhadap perekonomian provinsi yang selama ini menggantungkan pendapatan daerahnya dari sektor batubara. "Apalagi dari sisi perusahaan, kapasitas produksi dan alat-alat beratnya pun meningkat," katanya.

Namun, sambung Hendra, pengendalian produksi ini memberikan dampak yang positif terhadap kenaikan harga batubara, khususnya kalori 4.200 kcal per kg. Sebagai salah satu eksportir batubara thermal terbesar di dunia, kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia sangat diperhatikan dan berpengaruh terhadap pergerakan pasar dan harga batubara global.

Saat ini, Hendra mengatakan bahwa harga batubara kalori rendah sudah mulai menyentuh US$ 40 per ton. padahal, sebelumnya masih ada di kisaran US$ 35 per ton.

"Harga kalori rendah mulai bergairah lagi. Jadi memang kebijakan pemerintah kita untukmengontrol produksi sangat dicermati oleh pihak internasional. Tapi dalam hal ini, menjadi dilematis," ujarnya.

Adapun, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Minerba, Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, kuota produksi IUP provinsi tersebut bisa direvisi. Bambang bilang, apabila dalam evaluasi di Semester I rasio pemenuhan DMO sudah mencukupi, maka IUP daerah pun dimungkinkan untuk mengajukan tambahan kuota produksi.

"Namun demikian apabila di Semester I nanti memenuhi DMO, perusahaan atau pun Dinas Pertambangan dapat mengajukan revisi agar ini bisa dilakukan untuk peningkatan jumlah produksi yang ada di daerah masing-masing," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×