Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Serapan gas bumi industri penerima manfaat Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang belum optimal membuat PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) harus menanggung beban take or pay (TOP).
Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan, saat ini serapan gas baru mencapai 70% dari total alokasi.
"Kami selaku penyalur gas juga berharap bahwa sisa pasokan ini dapat dioptimalkan. Karena hal ini juga mempengaruhi keekonomian layanan gas bumi di hilir di mana PGN tetao berkewajiban menyerap alokasi dari hulu walaupun pemakaian di pelanggan belum optimal. PGN pernah menanggung take or pay karena tidak terserap secara optimal," kata Rachmat kepada Kontan, Senin (20/5).
Meski demikian, Rachmat tak merinci lebih detail soal besaran beban TOP yang telah dikeluarkan PGN.
Baca Juga: Pelaku Usaha Keluhkan Kuota Gas Industri, PGN: Kami Ingin Adil Beri Pasokan Gas
Rachmat menjelaskan, pihaknya pun masih menanti konfirmasi lebih lanjut dari pemerintah soal rencana perluasan industri penerima manfaat HGBT.
Di sisi lain, demi mengoptimalkan pemanfaatan gas untuk seluruh pelanggan, PGN memberlakukan sistem kuota gas bumi.
Menurutnya, implementasi kuota gas bumi saat ini dilaksanakan untuk menjaga realibilitas layanan, keamanan jaringan gas bumi dan pemerataan penyaluran gas bumi ke seluruh pelanggan.
"Kuota gas bumi sudah dilaksanakan sejak triwulan 1 2024 dan memang kebutuhan gas bumi masih cukup besar sehingga beberapa pelanggan masih melebihi batas kuota yang telah ditetapkan, sehingga perlu dilaksanakan mitigasi risiko jaringan dan pengelolaan keamanan jaringan gas bumi serta layanan berkeadilan kepada seluruh pelanggan," jelas Rachmat.
Kontan mencatat, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan perluasan penerima program HGBT akan bergantung dari temuan gas baru mendatang. Selain itu Kementerian ESDM saat ini tengah berfokus pada realisasi alokasi HGBT yang telah disetujui tahun ini.
"Kebijakan ini berlaku sampai 2024, ke depannya bergantung dari temuan gas," kata Arifin di ICE BSD, Selasa (14/5).
Adapun, Arifin menegaskan kelanjutan program ini menjadi perhatian untuk menciptakan daya saing industri yang lebih kompetitif. "Terus. [HGBT] terus jalan," tandasnya.
Baca Juga: Menteri ESDM: Kelanjutan Kebijakan HGBT Tergantung Temuan Gas
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian mengirim permohonan perpanjangan program HGBT yang ditujukan kepada Menteri ESDM. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menyatakan agar inisiatif HGBT bisa menyasar sektor industri lebih luas.
Pengamat Migas sekaligus mantan President Indonesian Petroleum Association (IPA) Tumbur Parlindungan mengatakan, untuk mendapatkan harga gas yang lebih murah value chain (rantai nilai) harus dibenahi karena value chain yang ada yang membuat harga gas cukup tinggi.
"Industri yang membutuhkan gas juga mungkin harus dievaluasi apabila menginginkan harga gas murah. Contohnya, harga gas berapa persen dari component cost of good sales industry tersebut," kata Tumbur kepada KONTAN, Jumat (17/5).
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai perluasan sektor industri penerima HGBT kurang tepat. Sebab, untuk menetapkan harga gas US$ 6 Mbptu, ada biaya yang harus ditanggung oleh pihak lain, misalnya dari sektor hulu harga gas harus diturunkan.
Menurut Fahmy, kebijakan ini tidak adil lantaran merugikan beberapa pihak seperti pemerintah dan PGN selaku pemilik pipa. Adapun, harga gas murah tersebut semestinya bisa diberikan ke PLN dan Pupuk yang bermanfaat langsung ke rakyat.
Baca Juga: Lunasi Utang Obligasi Dollar AS, PGN Tunjukan Pengelolaan Kinerja yang Sehat
"Karena dengan harga itu ada harga intervensi bukan harga pasar yang dinikmati oleh sejumlah industri. Yang untung industri yang memperoleh HGBT. Sementara ada pihak-pihak yang dirugikan, misalnya sektor hulu pemilik gas, pemerintah, PGN sebagai pemilik pipa," ujar Fahmy.
Menurutnya, jika diberlakukan untuk kepentingan umum misalnya untuk PLN dan pabrik pupuk itu masih relevan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News