Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) memandang prospek ekspor minyak sawit akan menghadapi tantangan besar gegara penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) atau BBM solar dengan 50% minyak sawit pada 2026 mendatang.
Mansuetus Darto, Dewan Nasional SPKS mengatakan, penerapan B50 yang bersifat wajib untuk pemenuhan pasar domestik menjadi tantangan bagi arah bisnis sawit.
"Kebijakan ini membatasi fleksibilitas perusahaan untuk memilih pasar dengan harga yang lebih menguntungkan, termasuk Uni Eropa," katanya kepada Kontan, Minggu (7/12/2025).
Baca Juga: Harga HIP Biodiesel dan Bioetanol Turun di Desember 2025
Darto melihat, jika harga ekspor lebih tinggi, perusahaan tetap harus memprioritaskan kebutuhan B50 sesuai perintah negara, meskipun secara bisnis bisa merugi.
SPKS juga menyoroti munculnya perusahaan seperti Agrinas Palma yang mengelola sekitar 1,5 juta hektare lahan sawit berpotensi menguasai pasokan biodiesel.
"Karena komoditas mereka sulit masuk pasar ekspor akibat isu legalitas dan compliance, mereka cenderung menjadi pemasok dominan untuk B50," terang Darto.
Menurut dia, hal ini dapat membebani sektor swasta yang telah membangun rantai pasok berkelanjutan, serta mengganggu ekosistem perdagangan minyak sawit serta tata kelola keberlanjutan di dalam negeri.
Baca Juga: B50 Siap Diuji Desember 2025, Industri Tambang dan Ahli Mesin Wanti-Wanti Hal Ini
"Pengawasan terhadap produksi sawit ilegal di dalam negeri perlu diperketat, termasuk yang terkait dengan aktor besar seperti Agrinas," beber Darto.
Adapun ia turut menggarisbawahi harga minyak sawit yang masih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya, seiring industri menghadapi tantangan standar keberlanjutan global seperti isu deforestasi.
"Jika minyak dari sumber tidak berkelanjutan masuk ke rantai pasok perusahaan swasta atau tercampur (blending) dengan minyak berkelanjutan, ini dapat menjadi isu serius dalam perdagangan internasional," jelas Darto.
Di lain sisi, ia juga menyorot penundaan penerapan European Union Deforestation Regulation (EUDR) atau Peraturan Deforestasi Uni Eropa. Menurut Darto, penundaan EUDR tak mengubah strategi ekspor secara signifikan.
Baca Juga: Analis Bloomberg: Program B50 Berpotensi Mengikis Ekspor CPO RI
Pasalnya, walau aturan ditunda, sebagian pelaku usaha kata Darto sudah mulai melakukan transisi secara bilateral business-to-business (B2B) menuju pendekatan EUDR, terutama dalam aspek keterlacakan (traceability).
"Meskipun, langkah ini masih bersifat sukarela, berskala uji coba, dan belum menjadi kewajiban resmi," tandasnya.
Selanjutnya: Kemenperin Buka Perluasan Akses Produk Halal Indonesia ke Jepang
Menarik Dibaca: Kehabisan Gaji Pasca PHK? Ini Solusi Finansial tanpa Stres dan Tetap Stabil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













