kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Simak beragam pendapat terkait wacana pembentukan Badan Pelaksana EBT dalam RUU EBT


Rabu, 03 Februari 2021 / 07:45 WIB
Simak beragam pendapat terkait wacana pembentukan Badan Pelaksana EBT dalam RUU EBT
ILUSTRASI. Seorang warga memikul pupuk kandang di perladangan sekitar instalasi sumur Geothermal atau panas bumi PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020).


Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam perancangan dan penyusunan Undang-Undang (UU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), muncul wacana pembentukan badan khusus pengelola EBT untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Badan tersebut bertugas untuk menyusun strategi implementasi pemanfaatan energi terbarukan untuk mencapai target bauran energi berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) serta berkoordinasi dengan lembaga/kementerian dan institusi terkait.

“Indonesia memiliki sumber potensi EBT yang sangat besar, sehingga kita butuh lembaga khusus yang bisa mempercepat studi dan investasi EBT seperti Badan Pelaksana Energi Baru terbarukan (BPEBT),” kata Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR Fathan Subchi dalam siaran pers di situs Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Selasa (2/2).

Menurut dia, tren transisi energi dari fosil ke energi terbarukan sedang terjadi mengglobal. Banyak negara di Eropa maupun Amerika yang telah menginvestasikan miliaran dolar untuk pengembangan energi terbarukan.

Bahkan, China, India, dan Singapura secara serius mengembangkan energi terbarukan dari tenaga surya maupun tenaga angin. Transisi energi bersih bukan lagi menjadi suatu pilihan, melainkan kewajiban untuk melepas ketergantungan dengan energi fosil mengingat semakin menipisnya cadangan minyak dunia dan sumber energi fosil lainnya.

“Wacana BPEBT pada RUU EBT yang menjadi prolegnas prioritas 2021 akan kami dorong dan kawal terus sehingga RUU ini bisa segera disahkan. Dengan demikian upaya untuk transisi energi baru terbarukan bisa kita realisasikan sehingga mimpi mempunyai sumber energi yang lebih murah, renewable, dan ramah lingkungan bisa terwujud,” ungkap Fathan.

Baca Juga: Ada Usulan Ekspor dan Impor Sumber Bahan Penggerak Pembangkit EBT

Hal senada juga diungkapkan Suryadharma, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Dia menuturkan, perlu dibentuk badan khusus untuk mengelola energi terbarukan yang independen dan bertanggung jawab untuk pencapaian target melalui BPEBT.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa berpendapat, wacana pembentukan BPEBT perlu dikaji lebih dalam karena keberadaannya belum tentu mampu memecahkan persoalan pengembangan EBT di Indonesia.

Menurutnya, jika nantinya akan dibentuk badan khusus pengembangan EBT, model organisasi itu harus melihat konteks institusi, regulasi, tata kelola sektor energi dan kelistrikan, serta politik energi dalam negeri saat ini.

Baca Juga: Arifin Tasrif rombak susunan direktur di Kementerian ESDM

Dia menilai, hambatan utama pengembangan EBT di Indonesia saat ini adalah faktor dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Sebagai single off-taker atau pembeli tunggal dari EBT, PLN telah terbebani oleh kondisi permintaan dan pasokan yang tidak seimbang, tingginya biaya produksi listrik sementara tarif listrik tidak naik, serta kondisi keuangan perusahaan yang terbebani utang yang tinggi. “Sepanjang persoalan finansial tersebut tidak terselesaikan, penetrasi EBT pada sistem PLN akan terhambat,” ungkap Fabby.

Oleh karenanya, agar pengembangan EBT berjalan efektif di Indonesia, Rancangan UU EBT mesti diarahkan untuk membentuk ekosistem pengembangan dan pemanfaatan EBT serta mengatasi berbagai hambatannya. “Yang perlu diperhatikan di RUU EBT, yaitu aspek institusi, kebijakan, teknis, sosial, dan infrastruktur. Kalau kita cover makin banyak aspek ini, maka diharapkan bisa mengakselerasi pengembangan dan pemanfaatan EBT di Indonesia,” terang dia.

Baca Juga: Konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Masih Tunggu Data PLN

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan bahwa pemerintah sangat menyadari pentingnya transisi energi menuju energi bersih. Namun, sumber daya yang ada juga akan terus dimanfaatkan dan diolah sehingga nantinya lebih ramah lingkungan serta lebih mempunyai nilai tambah yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk masyarakat.

“Pembentukan Direktorat Jenderal EBTKE di tahun 2010 adalah salah satu bentuk keseriusan pemerintah, membentuk unit kerja khusus di bawah Kementerian ESDM yang bertugas mengelola EBT, yang kini sudah berjalan selama 10 tahun,” jelas Dadan.

Ia memaparkan, capaian bauran EBT di tahun 2020 baru mencapai setengahnya dari target 23% di tahun 2025. Pemerintah pun menjalankan sejumlah strateginya, antara lain mendorong proyek infrastruktur EBT yang cepat selesai seperti PLTS Terapung di Cirata yang bebas dari hambatan isu lahan.

Mengingat kondisi PLN yang sekarang mengalami kelebihan pasokan listrik, tantangan selanjutnya adalah memikirkan cara bagaimana pembangkit EBT tetap bisa masuk pada sistem dan jaringan penyediaan listrik oleh PLN.

“Kami ingin memperbaiki PLN dari dua sisi. Pertama, membuat PLN menjadi perusahaan produksi energi yang hijau. Yang kedua, kami ingin berkontribusi di mana harusnya dengan masuknya EBT ini bukan makin susah balance sheet-nya, tapi harus makin baik. Jadi stigma bahwa EBT itu lebih mahal menurut saya tidak akan bicara lagi hal-hal seperti itu. Saya ingin ini menjadi sama dengan fosil,” ungkap Dadan.

Baca Juga: RUU EBT juga bakal atur ekspor dan impor sumber energi terbarukan

Terkait badan pengelola EBT, Dadan mencontohkan beberapa negara di Asia yang memiliki badan pengelola khusus EBT di negaranya. Misalnya Malaysia yang memiliki Badan Pengelola Dana EBT bernama SEDA atau The Sustainable Energy Development Authority.

Pendanaan awal otoritas ini sebesar RM 3000 juta (treasury) berasal dari biaya tambahan 1% dipungut dari tagihan listrik konsumen, kecuali untuk rumah tangga dengan konsumsi lsitrik <300kwh per bulan atau konsumen yang membayar tagihan listrik < RM77 per bulan.

Kemudian, India memiliki IREDA atau Indian Renewable Energy Development Agency Limited yang merupakan Badan Usaha Pemerintah India di bawah kendali administratif Ministry of New and Renewable Energy (MNRE).

Baca Juga: Berambisi kembangkan industri baterai EV, ini permintaan insentif dari BUMN

IREDA memberikan fasilitas pinjaman dan menyusun Interest Rate Matrix berdasarkan jenis EBT yang terdiri dari proyek EBT selain biomassa dan sampah kota, proyek biomassa dan sampah kota, panel surya atap, angin, serta hidro. Adapun tingkat bunganya bervariasi dari 9,7% sampai 11,65%.

Singapura memiliki NEA atau National Environment Agency yang menghimpun dana insentif dari dana-dana pengelolaan pajak yang disediakan oleh instansi pemerintah. NEA mendorong praktik ramah lingkungan melalui hibah dan insentif untuk mencapai sistem yang lebih hijau.

Lalu, ada Korea Selatan yang telah memiliki UU EBT dan membentuk Korea Energy Agency (KEA). Pendanaan KEA berasal dari pungutan kepada pemerntah atas produk minyak bumi.

Baca Juga: Indef: Pemerintah perlu beri insentif dan konsistensi regulasi untuk dongkrak EBT

Di Indonesia saat ini telah ada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang tahun ini dananya bisa mencapai Rp 50 triliun. Dana tersebut digunakan untuk mendukung sektor EBT dalam hal ini biodiesel.

Lalu, ada juga Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang menjadi pengelola dana-dana terkait bidang kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup.

Tentu wacana pembentukan badan pengelola EBT masih menjadi bahan diskusi panjang ke depannya. Diharapkan dengan adanya bentukan badan pengelola baru dapat mendorong kepastian hukum dan investasi proyek EBT.

Sejauh ini permasalahan utama proyek EBT adalah dari sisi keterbatasan bantuan pendanaan. Badan Pengelola EBT dapat difungsikan sebagai penghimpun, pengatur, dan penyalur dana keberlanjutan energi terbarukan.

Baca Juga: Begini penjelasan Menteri ESDM soal Perpres harga listrik EBT yang molor dari target

Setelah adanya BPDP KS dan BPDLH yang tugasnya berkaitan dengan pengembangan EBT yang perannya dapat diperluas, nantinya keanggotaan Badan Pengelola EBT dapat terdiri dari berbagai K/L dan stakeholder terkait, sehingga dapat memudahkan koordinasi dan sinkronisasi program EBT lintas sektoral. Badan ini juga membuat fungsi penyelenggaraan kebijakan serta regulasi energi terbarukan dapat lebih fokus, sehingga berbagai kendala energi terbarukan juga lebih mudah diidentifikasi dan dimitigasi.

Namun, tak dipungkiri ada sebagian pihak berpendapat pembentukan badan pengelola EBT berpotensi menambah panjang rantai birokrasi, berpotensi tumpang tindih fungsi dan wewenang dengan K/L terkait, serta pembentukan badan baru diprediksi akan menambah beban angaran pemerintah.

“Toh, sudah ada Ditjen EBTKE yang mempunyai tugas dan fungsi pengelolaan, pembinaan dan pengawasan bidang EBT. Untuk itu cukup dilakukan penguatan fungsi dan wewenang Ditjen EBTKE, dan tidak perlu membentuk badan baru,” pungkas Dadan.

Baca Juga: Simak saran Hilmi Panigoro agar investasi di energi terbarukan tetap masuk

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×