Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Permintaan baja nasional pada tahun depan diperkirakan naik 8,4% dibanding tahun ini. Namun ditengah pertumbuhan permintaan, industri baja nasional akan mengalami sejumlah tekanan.
Chairman Indonesia Iron and Steel Industries Association (IISIA) Irvan Kamal Hakim menjelaskan, salah satu permasalahan di industri baja adalah banyaknya impor. "Ada pertumbuhan permintaan tapi kalau yang isi impor ya percuma kan," ujar Irvan, Rabu (12/11). Menurutnya pertumbuhan permintaan yang tinggi tidak akan berarti jika yang mengisi adalah baja impor.
Selain gempuran impor, tantangan industri baja tahun depan adalah mengenai harga baja yang belum kunjung membaik. Harga yang kurang baik disebabkan karena produksi baja China atau Tiongkok yang tinggi. Tiongkok memiliki kapasitas produksi 750 juta ton per tahun, setengah dari kebutuhan baja dunia yang sebesar 1,5 miliar ton.
Walau ada perlambatan ekonomi di China dan dunia sehingga permintaan baja juga menurun, namun alih-alih mengurangi produksi produsen baja Tiongkok masih terus mempertahankan target produksi.
Alhasil terjadi kelebihan pasokan baja di dunia. Harga baja pun jadi anjlok, karena pasokan lebih banyak dari permintaan. Adapun baja-baja Tiongkok itu masuk dan membanjiri Indonesia, sehingga baja produksi dalam negeri harus bersaing ketat.
Selain soal harga baja, industri baja juga bergantung dari nilai tukar rupiah yang tak kunjung membaik. Pasalnya bahan baku produksi baja seperti biji besi masih impor, dan bahan baku energi seperti gas juga menggunakan kurs dollar.
Belum lagi industri baja, masih harus menghadapi kenaikkan tarif dasar listrik yang terus meningkat tahun ini. Beban energi mengantungi 20%-30% dari beban produksi perusahaan. "Faktor-faktor eksternal inilah yang sulit ditebak dan tak bisa dikontrol perusahaan. Ini membuat merah laporan keuangan perusahaan baja hampir di seluruh dunia," ujar Irvan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News