kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Sinkronisasi industri tekstil dan produk tekstil diperlukan


Rabu, 17 Juli 2019 / 17:01 WIB
Sinkronisasi industri tekstil dan produk tekstil diperlukan


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus ingin menggenjot industri tekstil dan produk tekstil (TPT) agar bisa berdaya saing dengan global. Hanya saja masih banyak pekerjaan rumah yang belum dibereskan. Salah satunya masalah rantai pasok (supply chain) yang tidak sinkron.

Sekjen Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy menjelaskan saat ini permintaan produk hilir yakni garmen terus meningkat. Hal ini karena kebutuhan global dan juga keinginan untuk jadi industri yang berorientasi ekspor. Hanya saja kemajuan garmen tak diikuti industri bahan bakunya.

Salah satu yang disoroti yakni impor yang tinggi pada industri tekstil adalah berupa bahan baku, yaitu produk kain (fabrics). Produk kain yang diprediksinya berupa kain jadi alias kain finished ini merupakan bahan baku untuk kebutuhan industri pakaian jadi (garment).

"Masing-masing sektor hulu, industri antara dan hilir berjalan sendiri-sendiri akibatnya impor kain ini meningkat dalam beberapa tahun terakhir," kata Ernovian kepada Kontan.co.id, Rabu (17/7).

Ernovian menjelaskan ada baiknya pemerintah mengawasi dan mengontrol impor yang masuk. Karena pada dasarnya industri dalam negeri sudah siap untuk menyuplai bahan baku.

Tidak adanya harmonisasi kerjasama antar industri TPT Indonesia sehingga rantai pasok antar industrinya tidak jalan dan penjualan domestik tidak optimal. Ini menyebabkan pola produksi antar industrinya tidak tersistem.

Bahkan industri hulu masih menerapkan anti dumping serat poliester (PSF) sehingga kerugiannya bukan hanya di industri antara (produsen benang dan kain) tetapi juga berlanjut ke pada industri hilirnya yaitu produsen pakaian jadi dan produk jadi tekstil lainnya.

Akibatnya volume impor meningkat yang disebabkan dari awal (pembuatan serat dan filamen) yaitu produksinya terbatas dan menerapkan anti dumping serat polienster. Lalu di industri antaranya terjepit karena bahan baku harganya tidak kompetitif. Jika ada impor ada bea masuk tambahan sehingga produksinya terbatas dan harga julap produknya pun mahal atau tinggi.

Kevin Hartanto, Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat juga menjelaskan produsen pakaian jadi di Jawa Barat kebanyak masih mengimpor karena selalu kekurangan bahan baku kain, padahal permintaan terus meningkat.

"Hanya saja yang seharusnya boleh impor itu produsen dan bukan pedagang. Produsen pun harus dicek lagi kebutuhannya berapa agar mereka tidak jadi pedagang," kata Kevin saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (17/7).

Menurutnya masalah kinerja yang buruk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sepanjang tahun belakangan adalah aturan Permendag No.64/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No.85/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.

Menurutnya, sebelum aturan tersebut terbit, impor sudah membanjiri pasar dalam negeri. "Impor jadi tidak terkendali bahkan di daerah Jawa Barat, importir bisa masuk door to door ke toko-toko," katanya.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono menjelaskan masalah utama industri yakni karena masih mesin produksi masih banyak kurang dan mesin lama perlu direvitalisasi.

Kondisi mesin saat ini menurutnya belum bisa bersaing dan belum bisa menghasilkan kain berkualitas bagus."Oleh karena itu Kemenperin mendorong adanya revitalisasi di sektor knitting weaving dying finishing supaya kapasitasnya bisa memenuhi sektor hilirnya garment," kata Sigit kepada Kontan.co.id, Rabu (17/7).

Dari Kemenperin menunjukkan, industri TPT menjadi penghasil devisa yang cukup signifikan dengan nilai ekspor mencapai US$ 13,22 miliar atau naik 5,55% dibanding tahun lalu. Selain itu, industri TPT telah menyerap tenaga kerja sebanyak 3,6 juta orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×