Reporter: Ranimay Syarah | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Pengerjaan proyek di ladang minyak Banyu Urip, Blok Cepu, Jawa Timur bisa dipastikan molor. Akibat jadwal yang tak tepat waktu, target produksi sebesar 165.000 barel per hari (bph) pada pertengahan tahun depan, akan sulit tercapai.
Alasan utama keterlambatan pengerjaan Engineering Procuremen and Construction (EPC) adalah permintaan penambahan anggaran oleh kontraktor EPC I dan II. Buntut dari permintaan itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berniat melakukan audit atas pengerjaan proyek EPC itu.
Elan Biantoro, Kepala Bagian Humas SKK Migas mengungkapkan, dalam waktu dekat SKK Migas akan melakukan audit dalam hal teknis dan sisi keuangan proyek. Pemicunya, kontraktor EPC meminta Perubahan Lingkup Kerja (PLK) yang berdampak terhadap penambahan anggaran pengerjaan EPC.
Penambahan anggaran tersebut karena pengerjaan EPC I-II mengalami keterlambatan akibat pembebasan lahan yang sulit. Alhasil, biaya penyewaan lahan untuk menyimpan barang menjadi bengkak karena tidak digunakan tepat waktu. Keterlambatan pembebasan lahan juga berimbas ke gaji pekerja.
Elan menambahkan, SKK Migas berniat mengaudit penyebab keterlambatan pengerjaan yang terjadi di kontraktor, baik dari sisi teknis maupun non teknis. Misalnya, dari sisi teknis, yakni penyiapan bahan baku yang banyaknya impor dari China dan Korea Selatan, hingga pengirimannya tidak tepat waktu.
Lalu, dari sisi non-teknis, misalnya ketika ingin melakukan pemasangan pipa di Bojonegoro ke Tuban, warga sempat menolak penempatan pipa tersebut. Meski demikian, masalah teknis dan non-teknis tidak bisa menjadi dalih para kontraktor EPC untuk meminta penambahan anggaran.
"Jika sudah ada pemenang lelang dari pengerjaan EPC, maka penambahan anggaran tidak bisa. Sebab kalau ada permintaan penambahan anggaran, berarti tidak sesuai dengan penawaran awal. Jadi kami katakan itu adalah pemborosan biaya, " kata Elan.
Menurut data SKK Migas, pengerjaan EPC I-V proyek ladang minyak Banyu Urip memang mengalami keterlambatan, Ambil contoh, pengerjaan EPC I untuk pembangunan fasilitas produksi utama lapangan Banyu Urip senilai US$ 746,3 juta.
Proyek EPC I itu dikerjakan oleh PT Tripatra Engineering, anak usaha PT Indika Energy Tbk (INDY) dan Samsung Engineering Co Ltd, perusahaan asal Korea Selatan yang baru menyelesaikan 70% pekerjaannya. Padahal, pekerjaan yang harus selesai bulan ini mencapai 92%. EPC II dikerjakan PT Inti Karya Persada Tehnik dan PT Kelsri yang terlambat 20%-26% dari target yang sudah ditetapkan.
Sulit kerjasama
Kepala Subbagian Komunikasi dan Protokol SKK Migas, Zudaldi Rafdi , menambahkan, Pemerintah Daerah Bojonegoro dan warga setempat sulit diajak kerjasama, hingga pembebasan lahan terhambat. Alhasil. "Kontraktor EPC I-II secara total minta tambahan anggaran US$ 49 juta. Bisa jadi, kontraktor EPC III-V juga minta," kata dia.
Vice President Public and Goverment Affair ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto, menyatakan sudah mengetahui usulan PLK dari kontraktor. "Kami sudah membahas bersama dari aspek teknis dan komersial yang mengacu ke ketentuan yang ada di kontrak. Mengenai rincian komersial atau anggaran tambahan, kebijakan kami adalah tidak mendiskusikan secara terbuka, " kata Erwin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News