Reporter: Vatrischa Putri Nur | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persaingan di dunia E-commerce Indonesia semakin ketat. Kini, tampaknya e-commerce yang dikelola oleh perusahaan asing makin mendominasi pasar E-commerce di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan seperti Shopee, Lazada, TikTok Shop, dan Zalora adalah contoh E-commerce asing yang populer di Indonesia.
Terakhir, Bytedance, pemilik baru Tokopedia pasca akuisisi Tokopedia dari GOTO, meminta para pelapak di Tokopedia untuk melakukan integrasi ke pusat penjualan baru atau seller center milik mereka.
Mengomentari hal ini, Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, manyampaikan bahwa kondisi ini bisa terjadi sebab pemerintah dinilai menyambut dengan tangan terbuka bagi pemain asing untuk melakukan bisnis E-commerce di Indonesia.
Baca Juga: Menilik Peluang dan Tantangan Bisnis E-Commerce pada Tahun 2025
Di satu sisi, ia menilai bahwa pemain lokal akan senang pula ketika ada investor asing yang tertarik melakukan bisnis di perusahaan start up E-commerce milik mereka.
"Sementara pemain lokal, ketika ada investor masuk dalam perusahaan startup e-commerce nya, senang, karena investasi sebelumnya diganti dengan nilai sangat besar," terang Heru kepada Kontan.co.id, Rabu (4/6).
"Jadi, penguasaan e-commerce kita oleh asing akan kian besar dan akan didominasi kepemilikannya oleh asing," tambahnya lagi.
Kondisi ini agaknya sulit untuk dihindari. Sebab, skema bisnisnya berhubungan secara B2B. Pun, tidak ada upaya pemerintah untuk memastikan saham E-commerce lokal tidak lari ke pemain asing.
Baca Juga: Industri E-Commerce Indonesia: Antara Inovasi, Efisiensi & Regulasi yang Mendukung
"Indonesia tidak punya rasa memiliki dan menjaga e-commerce lokal agar tidak diambil asing. Sebab, ini kan hubungan B2B, tidak ada misal upaya pemerintah agar saham tidak lari ke asing," jelasnya.
Lebih dalam, Heru juga menjelaskan bahwa rata-rata e-commerce lokal sejak awal memang didesain dan direncanakan untuk sebagian sahamnya dimiliki investor lain, dan utamanya adalah asing.
"Sebab berat kalau tidak ada investasi, sementara orang Indonesia investasi di startup juga terbatas jumlah dan maunya. Paling 3 tahun setelah bakar uang, ingin uang yang ditanamkan ini kembali," tambah Heru.
Oleh sebab itu, Heru mengatakan bahwa yang perlu dilakukan sekarang ialah memastikan agar e-commerce yang beroperasi di Indonesia difokuskan untuk menjual produk lokal.
Sejalan seperti yang tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Baca Juga: Implementasi AI Mulai Masif di Sektor E-Commerce Indonesia
"Yang bisa kita lakukan adalah mengatur dengan ketat agar e-commerce wajib utamanya menjual produk lokal, produk UMKM, dan tidak boleh dari LN dijajaki langsung di e-commerce kita. Aturannya sudah ada, tinggal bagaimana mengawasinya saja," gagasnya.
Lebih lanjut, Heru memproyeksikan nilai transaksi Gross Merchandise Value (GMV) bisa mencapai US$ 100 miliar pada tahun 2025, bahkan mencapai US$ 125 miliar bila pemerintah turut andil turun tangan.
"Hanya saja, sampai semester-I 2025 ini kita kan kesulitan keuangan, PHK di mana-mana, dan daya beli menurun. Sehingga, pencapaian US$ 100 miliar ini masih dirasa berat sehingga perlu dorongan," pungkasnya.
Selanjutnya: 1 Juta WNI Berobat ke Luar Negeri, Menko PMK: Devisa Bocor Rp 200 Triliun
Menarik Dibaca: 5 Cara Menyimpan Daging Kurban di Kulkas biar Awet untuk Daging Sapi dan Kambing
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News