kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Smelter FeNi dan NPI bakal dibatasi, Kementerian ESDM susun peta hulu hingga hilir


Minggu, 27 Juni 2021 / 17:45 WIB
Smelter FeNi dan NPI bakal dibatasi, Kementerian ESDM susun peta hulu hingga hilir
ILUSTRASI. Foto udara pabrik pengolahan nikel milik PT Aneka Tambang Tbk di Kecamatan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Senin (24/8/2020). ANTARA FOTO/Jojon/wsj.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini tengah menyusun peta industri nikel dari hulu hingga hilir demi pengambilan kebijakan ke depan.

Direktur Mineral Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto mengungkapkan pembangunan maupun pengembangan proyek ke depan harus memastikan ketersediaan pasokan dan cadangan dari hulu.

"Kami sedang menyusun material balance nikel dari hulu (sumberdaya dan cadangan) hingga hilir sesuai pohon industri nikel sehingga kebijakan (diambil) secara tepat," jelas Sugeng kepada Kontan.co.id, Minggu (27/6).

Baca Juga: Muncul wacana pembatasan smelter, bagaimana dampaknya terhadap emiten nikel?

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengungkapkan pembatasan pembangunan smelter kelas dua yakni feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI) dikarenakan nilai tambah yang minim dari produk ekspor.

Nantinya, peningkatan nilai tambah produk smelter bakal didorong mencapai produk stainless steel. "Atau hingga minimal nikel sulfat sehingga nilai tambah yang kita peroleh meningkat," terang Mulyanto, Minggu (27/6).

Sebagai perbandingan, estimasi harga untuk produk FeNi sebesar US$ 15.500 per ton sementara nikel matte sebesar US$ 14.000 per ton. Besaran ini masih lebih rendah ketimbang produk nikel sulfat yang mencapai US$ 20.500 per ton.

Adapun, dari data yang ada potensi penerimaan negara pasca 2025 dari produk FeNi dengan jumlah 100 ribu ton sebesar US$ 135,62 juta. Jumlah ini masih lebih rendah ketimbang potensi penerimaan negara dari 100 ribu ton produk nikel sulfat yang mencapai US$ 153,75 juta. Artinya, terdapat potensi tambahan penerimaan negara hingga US$ 18,12 juta.

Baca Juga: Perpres PLTSa bakal direvisi, begini potensi pellet RDF yang jadi alternatif

Mulyanto melanjutkan, saat ini usulan pembatasan smelter nikel kelas 2 ini masih dalam tahapan usulan dan pematangan konsep. "Belum keluar peraturan kementeriannya, jadi belum ada legalitas untuk eksekusinya," kata Mulyanto.

Mulyanto melanjutkan, selain opsi pembatasan smelter FeNi dan NPI juga ada opsi untuk peningkatan kelas smelter dari smelter kelas 2 menjadi smelter kelas 1.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengungkapkan pertimbangan pembatasan pembangunan pabrik FeNi dan NPI didasarkan pada ketahanan cadangan bijih yang rendah dan tidak adanya peningkatan nilai tambah.

Selain itu, pembatasan juga berpotensi dilakukan untuk kegiatan ekspor produk FeNi dan NPI.

"Memang pembangunan pabrik nikel kelas 2 dan ekspornya perlu dibatasi karena ketahanan cadangan bijih mereka rendah dan untuk antisipasi smelter yang hanya sekedar ekspor FeNi atau NPI tanpa mengolah lebih lanjut," ujar Eddy ketika dihubungi Kontan.co.id, Minggu (27/6).

Selanjutnya: Industri keramik di Jawa Timur mengeluhkan belum dapat gas murah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×