Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Kendati begitu, dia menegaskan bahwa PTFI tetap akan mengerjakan smelter tembaga sebagaimana kesepakatan yang tertuang pada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dikantonginya pada Desember 2018 lalu.
"Kami komitmen sebagaimana yang disepakati, jadi tetap pembangunan smelter baru akan kami lanjutkan," ucap Tony.
Lebih lanjut, Tony membeberkan bahwa kondisi pembangunan smelter saat ini berbeda dengan saat masa pembangunan smelter tembaga pertama oleh PT Smelting. Mengenai PT Smelting, Tony menyebut bahwa sekalipun menghasilkan laba, namun keuntungan yang dihasilkan hanya marginal.
Sebagai gambaran, PT Smelting saja baru bisa menghasilkan dividen setelah 20 tahun beroperasi. "PT Smelting setelah 20 tahun beroperasi baru mulai bayar dividen dan sangat marginal," ungkapnya.
Baca Juga: Freeport Indonesia catat tren kinerja positif selama kuartal II 2020
Dia menjelaskan, asumsi awal pembangunan smelter memang menjanjikan. Asumsi itu berdasarkan proyeksi pertumbuhan permintaan yang meningkat serta pasokan dari smelter tembaga yang terjaga.
Namun, smelter menjadi tidak ekonomis setelah maraknya pembangunan smelter tembaga di China sehingga terjadi oversupply.
"Pada saat itu kapasitas smelter dunia belum seperti sekarang, saat ini China rajin bangun smelter tembaga di 2003-2004. Ini lah mulai terjadi over capacity, Itu latar belakangnya," sambug Tony.
Selain itu, pergerakan nilai TCRC juga stagnan. Tony menyampaikan, TCRC pada tahun 1995 berada di angka US$ 18 cent per pound. Nilai itu tak banyak berubah hingga sekarang.
Padahal, harga tembaga sudah melesat, dari US$ 60 sen per pon di akhir tahun 1990-an dan menjadi US$ 62 sen pada awal 2000. "Sekarang harga tembaga US$ 3, tapi TCRC tetap US$ 18 sen," kata Tony.