Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tonny Wenas kembali membeberkan tidak ekonomisnya proyek smelter tembaga. Hitungan Tony, ada kerugian sekitar US$ 300 juta per tahun yang harus ditanggung saat proyek smelter tembaga PTFI itu dibangun.
Dia membeberkan, pendapatan utama smelter datang dari Treatment Charge and Refining Charge (TCRC). Dengan kapasitas smelter 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan menelan investasi sebesar US$ 3 miliar, nilai TCRC yang dibutuhkan agar ekonomis mesti di angka US$ 52 sen per pon.
Namun, nilai TCRC saat ini hanya di kisaran US$ 26 sen per pon tembaga, dan diproyeksikan stagnan dalam beberapa tahun ke depan. Artinya, ada kerugian atau loss sebesar US$ 26 sen per pon tembaga. Dalam perhitungannya, selisih tersebut setara dengan kerugian US$ 300 juta per ton.
Baca Juga: Pasca Mengempit INCO, Mind Id Akan Mengembangkan Tambang Emas di Blok Wabu
"Penambang memberikan subsidi US$ 300 juta per tahun. Ini akan berdampak bagi pemegang saham, bagi pemerintah juga akan berdampak," kata Tony dalam webinar yang digelar Rabu (14/10).
Lebih lanjut, dia bilang bahwa produk katoda tembaga dari smelter PTFI juga terpaksa akan diekspor. Pasalnya, 50% produksi dari smelter tembaga yang ada sekarang, yakni PT Smelting sudah mampu memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. "Dengan begitu subsidi US$ 300 juta itu juga ikut diekspor," imbuh Tony.
Asal tahu saja, hingga September 2020, progres smelter tembaga PTFI baru mencapai 5,86%. Hingga Agustus 2020, proyek yang berlokasi di JIIPE Gresik, Jawa Timur itu sudah menyerap investasi sekitar US$ 303 juta.
Kini proyek smelter tersebut masih terhambat karena adanya pandemi virus corona atawa Covid-19. "Karena para pemasok utama kami, dari Finlandia, Kanada dan Jepang sangat terdampak (Covid-19)," ungkap Tony.
Kendati begitu, dia menegaskan bahwa PTFI tetap akan mengerjakan smelter tembaga sebagaimana kesepakatan yang tertuang pada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dikantonginya pada Desember 2018 lalu.
"Kami komitmen sebagaimana yang disepakati, jadi tetap pembangunan smelter baru akan kami lanjutkan," ucap Tony.
Lebih lanjut, Tony membeberkan bahwa kondisi pembangunan smelter saat ini berbeda dengan saat masa pembangunan smelter tembaga pertama oleh PT Smelting. Mengenai PT Smelting, Tony menyebut bahwa sekalipun menghasilkan laba, namun keuntungan yang dihasilkan hanya marginal.
Sebagai gambaran, PT Smelting saja baru bisa menghasilkan dividen setelah 20 tahun beroperasi. "PT Smelting setelah 20 tahun beroperasi baru mulai bayar dividen dan sangat marginal," ungkapnya.
Baca Juga: Freeport Indonesia catat tren kinerja positif selama kuartal II 2020
Dia menjelaskan, asumsi awal pembangunan smelter memang menjanjikan. Asumsi itu berdasarkan proyeksi pertumbuhan permintaan yang meningkat serta pasokan dari smelter tembaga yang terjaga.
Namun, smelter menjadi tidak ekonomis setelah maraknya pembangunan smelter tembaga di China sehingga terjadi oversupply.
"Pada saat itu kapasitas smelter dunia belum seperti sekarang, saat ini China rajin bangun smelter tembaga di 2003-2004. Ini lah mulai terjadi over capacity, Itu latar belakangnya," sambug Tony.
Selain itu, pergerakan nilai TCRC juga stagnan. Tony menyampaikan, TCRC pada tahun 1995 berada di angka US$ 18 cent per pound. Nilai itu tak banyak berubah hingga sekarang.
Padahal, harga tembaga sudah melesat, dari US$ 60 sen per pon di akhir tahun 1990-an dan menjadi US$ 62 sen pada awal 2000. "Sekarang harga tembaga US$ 3, tapi TCRC tetap US$ 18 sen," kata Tony.
Kondisi itu diamini oleh Senior Manager Technical Eksternal PT Smelting Bouman T Situmorang. Menurutnya, asumsi awal saat pembangunan smelter dinilai menguntungkan. Hanya saja, mulai maraknya smelter tembaga di China malah menjatuhkan nilai TCRC.
"Smelter sekarang agak tersendat karena hitung-hitungan ekonomi," ungkap Bouman.
Mengenai keuntungan dan pembagian dividen, Bouman juga mengakui bahwa PT Smelting baru memberikan 4 kali ke pemegang saham. Mulai didirikan sejak tahun 1996 dan mulai produksi komersial pada 5 Mei 1999, PT Smelting baru mulai membagi dividen pada tahun 2014.
Baca Juga: Setoran dividen Freeport tak akan berkurang walau bisnis terpapar wabah corona
"Awal 2014, loncat ke 2017, nggak setiap tahun pemegang saham mendapat dividen," ungkapnya.
Sebagai informasi, smelter tembaga PT Smelting dibangun atas kewajiban PTFI dalam Kontrak Karya (KK). Saham PT Smelting dipegang 60,5% oleh Mitsubishi Materials Corp., PTFI 25%, Mitsubishi Copporation Japan Ltd. 9,5% dan JX Nippon Mining & Metals Corp. sebanyak 5%.
Selanjutnya: Smelter di Morowali untung, kenapa smelter tembaga rugi? Tony: Beda bos, itu nikel!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News