Reporter: Agung Hidayat | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pegatron, perusahaan perakit ponsel pintar iPhone yang memiliki pabrik di China bakal memindahkan pabriknya ke Batam, Indonesia di tahun 2019 mendatang. Sebelumnya Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa pihak Pegatron sempat ragu berinvestasi lantaran masalah perizinan.
Namun, dia mengaku pemerintah dapat meyakinkan perusahaan itu bahwa persoalan perizinan bisa dapat diselesaikan. "Semua izin kita urusin, pokoknya (Pegatron) investasi di sini, sepanjang dapat ikutin semua aturan-aturan yang ada," sebut Luhut.
Seperti yang dikutip dari Nikkei Asia beberapa hari yang lalu, informan yang mengetahui detil pemindahan ini menjabarkan bahwa pendapatan perseroan dari produk ponsel pintar dan produk lainnya mencapai US$ 1 miliar setiap tahunnya. "Investasi akan mulai dalam bulan ini, dengan produksi penuh diharapkan pada pertengahan 2019," kata orang itu.
Guna memenuhi ekspansi ini, Pegatron akan menyewa pabrik yang dapat mempekerjakan 8.000 hingga 10.000 pekerja. Untuk itu perusahaan perlu menyewa daripada membangun fasilitas baru untuk memastikan produksi sesegera mungkin.
Menurut Ali Soebroto, Ketua Umum Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (Aipti) pemindahan ini tak lepas dari situasi perang dagang antara AS-China yang meningkatkan bea masuk produk dari Tiongkok ke Negeri Paman Sam. "Mau tak mau mereka harus cari tempat lain agar cost-nya bisa turun," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (9/12).
Sebenarnya, kata Ali, Indonesia bukan pilihan utama bagi industri perakitan elektronik dunia karena masih kalah kompetitif dibandingkan negara tetangga salah satunya Vietnam. "Namun perakit iPhone yang lain, misal Foxconn sudah pilih Vietnam. Maka Pegatron harus cari tempat yang lain," terangnya.
Ali berharap rencana investasi ini dapat terealisasi dengan baik dan mampu mendorong investasi lainnya untuk masuk ke Indonesia. Hanya saja, ada beberapa hal yang harus dibenahi khususnya terkait paket kebijakan ekonomi.
"Soal izin dan administrasi itu gampang. Yang kurang dicermati soal kebijakan ekonomi, apakah nanti kalau produksi di Indonesia biayanya benar-benar murah?" sebut Ali. Aipti berharap pemerintah juga menyajikan daya tarik bagi investor, seperti tax holiday kestabilan upah tenaga kerja dalam negeri.
Persoalan upah tenaga kerja sebenarnya, kata Ali, regulasi yang telah ada dinilai belum mampu menyeleselaikan semua masalah. Setidaknya dalam tiga tahun berturut-turut kenaikan UMP rata-rata tergolong tinggi sekitar 8%.
Sementara produk ponsel mempunyai ukuran yang kecil dengan value yang tinggi, sehingga kenaikan upah akan mempengaruhi inflasi harga produk maupun beban pabrikan. Menurut Ali pemerintah harus memperhatikan hal tersebut, sebab dengan adanya perang dagang ini dimungkinkan banyak pabrik asal China, tidak hanya smartphone, yang berminat relokasi ke Asean.
Rencananya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan bertemu dengan Pegatron, perakit iPhone asal Taiwan minggu depan. Pertemuan sejalan dengan rangkaian acara 5th Joint Committee on Trade and Investment (JCTI) yang terselanggara pada 10 Desember 2018 di Yilan, Taiwan.
Hal tersebut dibenarkan oleh Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin R. Janu Suryanto. Adapun diharapkan investasi yang masuk nanti juga dapat merangsang investasi lainnya.
"Tentu bagus buat investasi, selain itu sebelumnya Pegatron memang sudah menyatakan tertarik untuk ke Indonesia," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Minggu (9/12). Mengenai rencana produksi dan kisaran nilai investasinya baru dapat dikonfirmasikan pada pertemuan dengan Pegatron minggu depan tersebut.
Sebelumnya dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) beberapa hari yang lalu, PT Sat Nusapersada Tbk (PTSN) menyampaikan mendapat kontrak dari Pegatron Corporation.
"Pegatron akan melakukan kerja sama dengan Sat Nusa untuk merakit berbagai produk elektronik yang akan diekspor ke AS," kata Direktur Utama Sat Nusapersada Abidin Fan, dalam keterbukaan informasi yang disampaikan, Senin (3/12).
Sayangnya perseroan belum menyebutkan nilai kontrak yang didapat dari perusahaan tersebut. Yang terang motif kerja sama tersebut diterangkan sebagai dampak perang dagang yang produk yang dibuat di China dikenakan tarif tambahan jika dijual di AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News