Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai tidak mudah untuk memanipulasi harga transfer (transfer pricing) untuk meminimalkan pembayaran pajak dalam transaksi jual-beli batubara.
Menurut Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia, pemerintah melalui Direktorat Pajak memiliki kewenangan untuk menguji harga pernjualan batubara oleh perusahaan kepada afiliasinya dengan menerapkan "Transfer Pricing Rules" (TP Rules). Yakni melalui mekanisme pemeriksaan pajak.
"Apabila harga dalam ekspor kepada afiliasinya tidak wajar maka Dirjen Pajak berwenang membuat adjustment dan menagih kekurangan pembayaran PPh," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Minggu (28/7).
Hendra menilai, praktik transfer pricing dalam komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah seperti di sektor batubara, akan mudah menjadi temuan pajak. "Sehingga rasanya pengusaha harus berpikir berkali-kali jika ingin memanfaatkan penjualan ke afiliasi hanya untuk mendapatkan keringanan pembayaran PPh," sambung Hendra.
Hendra mengungkapkan, APBI termasuk yang mendorong penerapan Harga Patokan Batubara (HPB), yang dimaksudkan untuk minimalkan praktik transfer pricing.
Adapun, seperti yang diberitakan Kontan.co.id, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah meminta rekapitulasi data kontrak penjualan batubara dan realisasi harga sesuai invoice sejak tahun 2017, 2018 hingga Juni 2019.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, pihaknya akan mengaudit data transaksi jual-beli batubara dari seluruh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP).
"Secara internal kita lagi mau mempelajari dan mendalami adanya dugaan transfer pricing dalam praktik jual beli batubara. (Saat ini) belum selesai kajiannya." kata Pahala kepada Kontan.co.id, Minggu (28/7).
Sebelumnya, ramai diberitakan tentang laporan Global Witness, yang menyebut adanya pengalihan laba PT Adaro Energy Tbk melalui salah satu anak perusahaannya di Singapura. Yakni Coaltrade Service International Pte. Ltd. sejak 2009-2017.
Dengan pengalihan laba tersebut, Adaro disebut bisa membayar pajak US$ 125 juta lebih rendah daripada yang seharusnya. Melalui pengalihan itu, diperkirakan pemerintah Indonesia mengalami potensi kehilangan pemasukan sekitar US$ 14 juta setiap tahun.
Namun, Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira membantah laporan tersebut. Nadira mengklaim, sebagai perusahaan publik, Adaro telah menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan selalu patuh terhadap aturan yang berlaku, termasuk aturan perpajakan.
"Sejak tahun 2010, Adaro beberapa kali terpilih sebagai salah satu Wajib Pajak yang menerima apresiasi dan penghargaan atas kontribusinya terhadap penerimaan pajak, patuh terhadap peraturan perpajakan, serta responsif," ujar Nadira.
Lebih lanjut, Nadira menjelaskan bahwa Coaltrade memang merupakan salah satu perusahaan grup Adaro yang berbasis di Singapura untuk memasarkan batubara yang diproduksi oleh anak perusahaan Adaro di pasar internasional (ekspor).
"Sebagai kantor pemasaran internasional, Coaltrade berperan penting untuk memperluas pasar internasional dengan tetap berpegangan pada ketentuan HPB serta aturan perpajakan dan royalti yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia," sebut Nadira.
Eksistensi dan kinerja Coaltrade, sambung Nadira, sudah diketahui oleh otoritas perpajakan sejak lama dan setiap tahunnya interaksi Coaltrade dengan perusahaan lain dalam grup Adaro juga diperiksa oleh otoritas perpajakan.
"Informasi yang berkaitan dengan transaksi afiliasi dengan Coaltrade, serta pembayaran pajak dan royalti sudah diungkapkan di dalam laporan keuangan perusahaan," tandas Nadira.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News