Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan pemerintah Indonesia terkait ekspor bijih mentah (ore) mineral, khususnya pada komoditas nikel kembali menjadi sorotan.
Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum memberikan jawaban tegas terkait dengan wacana percepatan larangan ore nikel kadar rendah dari yang semula diberlakukan pada Januari 2022.
Menanggapi hal tersebut, Menteri ESDM Ignasius Jonan enggan berkomentar. Ia bahkan mengaku tidak tahu soal adanya wacana percepatan penutupan izin ekspor tersebut. "Nggak tahu saya," katanya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (12/8).
Senada dengan itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono juga irit bicara. Hanya saja Bambang menegaskan bahwa selama belum ada keputusan baru yang diterbitkan, maka pengaturan ekspor ore mineral, termasuk nikel, masih berdasar pada kebijakan yang lama.
Sekalipun ada perubahan kebijakan, kata Bambang, maka itu akan diputuskan oleh Menteri ESDM. "Nanti kalau Menteri sudah menjelaskan, itu baru ada kepastian. Tapi sampai sekarang belum ada perubahan, masih tetap seperti itu (sesuai aturan lama)," ungkap Bambang.
Sebelumnya dikabarkan, akan ada percepatan larangan ekspor ore nikel kadar rendah dari yang semula dijadwalkan pada Januari 2022. Namun, wacana tersebut ditolak oleh sejumlah pelaku usaha, termasuk oleh Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI).
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin mengatakan bahwa jika keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu dekat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter.
Meidy menyebut, banyak penambang yang tengah berinvestasi membangun smelter dengan sumber pendanaannya ditopang dari pemasukan ekspor bijih nikel.
Alhasil, jika pelarangan dipercepat, maka pembangunan smelter bisa mangkrak. Terlebih, adanya ketidakseimbangan antara pasokan nikel yang ditambang dengan smelter yang beroperasi di dalam negeri akan berimbas pada keekonomian harga yang menjadi tidak berimbang.
"Harga ekspor dan harga lokal kan nanti mati. Terjadi kartel, ada yang menguasai harga dan kita tidak sanggup," ungkapnya.
Senada dengan itu, Komisaris Utama PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara Merry Pical mengatakan bahwa pemerintah semestinya konsisten dengan peraturan yang ada saat ini, yakni penghentian ekspor ore nikel kadar rendah kurang dari 1,7% pada Januari 2022.
Merry menilai, percepatan larangan ekspor itu dirasa tidak adil bagi pemegang kuota ekspor yang saat ini tengah berinvestasi dalam pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Jika pelarangan dimajukan, kata Merry, pemerintah seakan tidak memberikan kesempatan bagi pengusaha nikel lokal untuk menyelesaikan pembangunan sesuai dengan target waktu yang sudah direncanakan.
Padahal, Merry mengungkapkan, para pemilik tambang nikel lokal yang memperoleh kuota ekspor ore nikel kadar rendah menjadwalkan pembangunan smelter-nya rampung pada akhir 2021. Apalagi, sambung Merry, kuota ekspor juga masih diperlukan, lantaran dapat memberikan kontribusi pemasukan bea masuk, PNBP dan PPh kepada pemerintah.
Sementara dari sisi keekonomian penambang, Merry menyebut percepatan larangan ekspor tersebut justru dapat membuat harga bijih nikel di dalam negeri semakin tertekan. "Ini juga menyangkut investasi dan keekonomian bisnis, jadi pemerintah harus memperhatikan pengusaha lokal," kata Merry kepada Kontan.co.id, kemarin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News