Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
Taufiqurrahman juga mengingatkan bahwa masing-masing komoditas energi memiliki dampak fiskal yang berbeda terhadap APBN. Berikut rinciannya:
Baca Juga: Kanada Bakal Beri Bantuan Finansial Bagi Produsen Aluminium Terdampak Tarif AS
1. Tantangan Impor Minyak Mentah (Crude Oil) dari AS
Pengamat ekonomi dan energi UGM Fahmy Radhi menyebut, impor minyak mentah berpotensi membebani APBN bila tidak sesuai dengan spesifikasi kilang domestik.
"Kalau tidak cocok, perlu penyesuaian yang bisa menambah biaya. Ini bisa bengkak di APBN," jelasnya kepada Kontan.co.id
Meski begitu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa impor minyak mentah dari AS akan tetap dilakukan. Waktu pengiriman dari AS sekitar 40 hari.
"Crude oil kita dari AS saat ini hanya 4% dari total impor. Ini akan kita naikkan menjadi lebih dari 40%," kata Bahlil, Senin (21/4).
Baca Juga: Negosiasi dengan AS, RI Tawarkan Pangkas Tarif, Beli Gandum dan Pesawat Boeing
2. Tantangan Impor LPG: Mahal dan Sensitif Subsidi
Taufiqurrahman menyebut LPG sebagai komoditas paling sensitif terhadap harga global dan biaya logistik lintas samudera.
Ketergantungan pada LPG 3 kg bersubsidi yang realisasinya mencapai 8 juta ton per tahun menjadi sumber tekanan subsidi energi.
"LPG ini yang paling mahal secara logistik dan sangat membebani postur subsidi energi di APBN," tegasnya.
Sekjen IATMI Hadi Ismoyo menambahkan, lantaran LPG termasuk barang bersubsidi, maka biaya impornya harus ditalangi terlebih dulu oleh Pertamina dan baru dirembus ke APBN.
"Tentu ini akan berdampak pada fiskal, terutama kalau harga global dan logistik naik," katanya.
Saat ini, Indonesia sudah mengimpor 57% dari total LPG dari AS. Dengan kebijakan baru, volume impor dari AS akan ditingkatkan menjadi 80–85%.
"Impor dari AS akan kita naikkan menjadi sekitar 80–85%," kata Bahlil, Kamis (17/4).
Tahun 2024 lalu, volume impor LPG Indonesia mencapai 6,89 juta ton dengan nilai US$ 3,79 miliar. Dari jumlah itu, impor dari AS mencapai US$ 2,03 miliar atau sekitar 57%.
Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal mengingatkan, agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada AS.
"Ini strategi jangka pendek. Kita tetap butuh diversifikasi sumber impor energi," tegasnya.
Baca Juga: Trump Siap Kirimkan Surat Tarif ke 12 Negara pada Senin Depan
3. LNG: Dulu Ditolak, Kini Masuk Daftar Impor
Berbeda dengan minyak mentah dan LPG, LNG sempat tidak dimasukkan dalam daftar impor karena kebutuhan domestik masih tercukupi.
Namun kini, LNG masuk sebagai salah satu komoditas yang akan diimpor dari AS.
Menurut Bahlil, Indonesia masih bisa mengekspor LNG ke negara-negara seperti China, Korea Selatan, dan Jepang. Namun belakangan, pemerintah membuka opsi impor.
Moshe Rizal mengingatkan bahwa meski Indonesia produsen LNG besar, 70% kapasitasnya masih dikuasai investor asing.
"Kalau ekspor mau dialihkan ke domestik, itu harus hati-hati agar tidak mengganggu iklim investasi," katanya.
Sekjen IATMI Hadi Ismoyo menambahkan, tantangan impor LNG juga terletak pada kontrak jangka panjang dan minimnya infrastruktur gas domestik.
"Banyak kontrak LNG bersifat jangka panjang dan dilindungi hukum internasional. Selain itu, kita masih kekurangan infrastruktur seperti terminal regasifikasi, pipa transmisi, dan distribusi," jelasnya.
Baca Juga: Indonesia Tawarkan Gunting Tarif Mendekati 0%, Beli Gandum dan Pesawat Boeing dari AS
Ismoyo menegaskan, persoalan utama bukan kekurangan LNG, tetapi keterbatasan sistem distribusi nasional yang belum terintegrasi dan efisien.
"Sehingga banyak juga alokasi LNG domestik yang tidak terserap karena tidak adanya infrastruktur gas terintergrasi mulai dari terminal LNG Regas, pipa transmisi, pipa pistribusi dan pipa jaringan rambut ke end user baik konvensional maupun virtual pipeline," jelasnya.
Selanjutnya: UMKM Pangan Indonesia Raup Potensi Ekspor Rp 12,56 Miliar di CISMEF 2025
Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 7-8 Juli, Siaga Hujan Lebat di Provinsi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News