Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dijadwalkan akan mengumumkan keputusan akhir terkait pemberlakuan tarif resiprokal atau tarif timbal balik terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia pada 9 Juli 2025.
Kebijakan ini sebelumnya ditunda sejak 9 April 2025 selama 90 hari.
Bagi Indonesia, tarif resiprokal yang semula ditetapkan sebesar 32% masih dalam proses negosiasi untuk diturunkan.
Salah satu upaya pemerintah untuk melunakkan sikap AS adalah dengan menyeimbangkan neraca perdagangan, antara lain melalui peningkatan impor dari negeri Paman Sam.
Baca Juga: Investor Global Bersikap Tenang Jelang Batas Waktu Tarif Trump
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, Indonesia telah menyiapkan strategi dengan memperbesar impor komoditas energi dari AS, dengan total nilai mencapai US$ 15,5 miliar atau sekitar Rp 251 triliun (asumsi kurs Rp16.214 per dolar AS).
"Sudah dibahas soal rencana pembelian energi senilai US$ 15,5 miliar, termasuk barang agrikultur dan investasi, baik oleh BUMN maupun Danantara," ujar Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Kamis (3/7).
Hal ini dikonfirmasi oleh Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung. Ia menyebut tiga komoditas energi utama yang akan diimpor dari AS, yakni minyak mentah (crude oil), liquefied petroleum gas (LPG), dan liquefied natural gas (LNG).
"Untuk belanja energi dari AS, tahun lalu saja kita sudah mencapai sekitar US$ 4,2 miliar," ungkap Yuliot di kantor Kementerian ESDM, Jumat (4/6).
Menurutnya, minyak mentah dan LPG pasti diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sedangkan untuk LNG, besarannya masih dalam tahap kajian.
"Impor LPG akan ditingkatkan, begitu juga dengan crude oil. Untuk LNG, kita juga akan impor dari AS, tapi volumenya belum ditentukan," tambah Yuliot.
Baca Juga: Keputusan Tarif AS untuk 12 Negara Maju Jadi Senin (7/7) Besok, Indonesia Termasuk?
Tarik Ulur Kepastian Tarif
Meski Indonesia telah menawarkan pembelian energi senilai ratusan triliun rupiah sebagai bentuk goodwill, kepastian penghapusan atau penurunan tarif 32% dari AS masih belum bisa dipastikan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufiqurrahman menilai, strategi ini sebagai bentuk diplomasi ekonomi quid pro quo yang belum tentu membuahkan hasil.
"Langkah ini spekulatif. Transaksi energi senilai Rp 251 triliun belum tentu menjadi bargaining chip yang cukup kuat untuk menghapus atau menurunkan tarif," ujarnya saat dihubungi, Minggu (6/7).
Taufiqurrahman juga mengingatkan bahwa masing-masing komoditas energi memiliki dampak fiskal yang berbeda terhadap APBN. Berikut rinciannya:
Baca Juga: Kanada Bakal Beri Bantuan Finansial Bagi Produsen Aluminium Terdampak Tarif AS
1. Tantangan Impor Minyak Mentah (Crude Oil) dari AS
Pengamat ekonomi dan energi UGM Fahmy Radhi menyebut, impor minyak mentah berpotensi membebani APBN bila tidak sesuai dengan spesifikasi kilang domestik.
"Kalau tidak cocok, perlu penyesuaian yang bisa menambah biaya. Ini bisa bengkak di APBN," jelasnya kepada Kontan.co.id
Meski begitu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa impor minyak mentah dari AS akan tetap dilakukan. Waktu pengiriman dari AS sekitar 40 hari.
"Crude oil kita dari AS saat ini hanya 4% dari total impor. Ini akan kita naikkan menjadi lebih dari 40%," kata Bahlil, Senin (21/4).
Baca Juga: Negosiasi dengan AS, RI Tawarkan Pangkas Tarif, Beli Gandum dan Pesawat Boeing
2. Tantangan Impor LPG: Mahal dan Sensitif Subsidi
Taufiqurrahman menyebut LPG sebagai komoditas paling sensitif terhadap harga global dan biaya logistik lintas samudera.
Ketergantungan pada LPG 3 kg bersubsidi yang realisasinya mencapai 8 juta ton per tahun menjadi sumber tekanan subsidi energi.
"LPG ini yang paling mahal secara logistik dan sangat membebani postur subsidi energi di APBN," tegasnya.
Sekjen IATMI Hadi Ismoyo menambahkan, lantaran LPG termasuk barang bersubsidi, maka biaya impornya harus ditalangi terlebih dulu oleh Pertamina dan baru dirembus ke APBN.
"Tentu ini akan berdampak pada fiskal, terutama kalau harga global dan logistik naik," katanya.
Saat ini, Indonesia sudah mengimpor 57% dari total LPG dari AS. Dengan kebijakan baru, volume impor dari AS akan ditingkatkan menjadi 80–85%.
"Impor dari AS akan kita naikkan menjadi sekitar 80–85%," kata Bahlil, Kamis (17/4).
Tahun 2024 lalu, volume impor LPG Indonesia mencapai 6,89 juta ton dengan nilai US$ 3,79 miliar. Dari jumlah itu, impor dari AS mencapai US$ 2,03 miliar atau sekitar 57%.
Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal mengingatkan, agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada AS.
"Ini strategi jangka pendek. Kita tetap butuh diversifikasi sumber impor energi," tegasnya.
Baca Juga: Trump Siap Kirimkan Surat Tarif ke 12 Negara pada Senin Depan
3. LNG: Dulu Ditolak, Kini Masuk Daftar Impor
Berbeda dengan minyak mentah dan LPG, LNG sempat tidak dimasukkan dalam daftar impor karena kebutuhan domestik masih tercukupi.
Namun kini, LNG masuk sebagai salah satu komoditas yang akan diimpor dari AS.
Menurut Bahlil, Indonesia masih bisa mengekspor LNG ke negara-negara seperti China, Korea Selatan, dan Jepang. Namun belakangan, pemerintah membuka opsi impor.
Moshe Rizal mengingatkan bahwa meski Indonesia produsen LNG besar, 70% kapasitasnya masih dikuasai investor asing.
"Kalau ekspor mau dialihkan ke domestik, itu harus hati-hati agar tidak mengganggu iklim investasi," katanya.
Sekjen IATMI Hadi Ismoyo menambahkan, tantangan impor LNG juga terletak pada kontrak jangka panjang dan minimnya infrastruktur gas domestik.
"Banyak kontrak LNG bersifat jangka panjang dan dilindungi hukum internasional. Selain itu, kita masih kekurangan infrastruktur seperti terminal regasifikasi, pipa transmisi, dan distribusi," jelasnya.
Baca Juga: Indonesia Tawarkan Gunting Tarif Mendekati 0%, Beli Gandum dan Pesawat Boeing dari AS
Ismoyo menegaskan, persoalan utama bukan kekurangan LNG, tetapi keterbatasan sistem distribusi nasional yang belum terintegrasi dan efisien.
"Sehingga banyak juga alokasi LNG domestik yang tidak terserap karena tidak adanya infrastruktur gas terintergrasi mulai dari terminal LNG Regas, pipa transmisi, pipa pistribusi dan pipa jaringan rambut ke end user baik konvensional maupun virtual pipeline," jelasnya.
Selanjutnya: UMKM Pangan Indonesia Raup Potensi Ekspor Rp 12,56 Miliar di CISMEF 2025
Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 7-8 Juli, Siaga Hujan Lebat di Provinsi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News