Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Usai program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) alias harga gas murah untuk industri berakhir pada 31 Desember 2024, tujuh industri dibebankan harga gas regasifikasi sebesar US$ 16,67 per MMBTU dari Januari sampai dengan Maret 2025. Gas regasifikasi ini dinilai lebih mahal daripada gas pipa.
Saat ini, Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI), dan Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) dibebankan harga gas US$16,67 per MMBTU, artinya dua kali lipat dari harga gas program HGBT sebesar US$6 per MMBTU.
Baca Juga: Hadapi Berbagai Tantangan, Kinerja Emiten Sektor Migas Diproyeksi Tetap Positif
Harga gas di Indonesia juga kalah jauh ketimbang Malaysia yang hanya US$4,5 per MMBTU, Thailand US$5,5 per MMBTU, dan Vietnam US$6,39 per MMBTU.
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN menetapkan harga gas regasifikasi sebesar US$16,77 per MMBTU yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 hingga 31 Maret 2025.
Menurut PGN, keputusan ini dilakukan untuk memastikan pasokan energi yang stabil bagi industri di tengah tantangan ketersediaan gas pipa yang masih terjadi.
Corporate Secretary PGN Fajriyah Usman menjelaskan, sejumlah pertimbangan di balik penetapan harga ini serta upaya strategis perusahaan dalam menghadapi perubahan dinamika sektor energi.
Fajriyah bilang, PGN memiliki dua sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, yaitu pasokan gas pipa dan pasokan gas dari hasil regasifikasi LNG.
Baca Juga: Kebijakan HGBT Tak Pasti, Begini Kata Pelaku Industri
Harga gas pipa sendiri relatif stabil karena tidak bergantung pada harga minyak dan mengikuti ketentuan Pemerintah.
Namun, untuk menjawab kebutuhan pasokan yang semakin besar, sejak pertengahan 2024, PGN mulai memanfaatkan gas regasifikasi LNG dari tiga kargo LNG domestik yang telah terserap penuh oleh pelanggan.
Penetapan harga gas regasifikasi LNG ini merujuk pada Indonesia Crude Price (ICP), yang juga ditetapkan oleh Pemerintah.
“Karakteristik gas regasifikasi LNG berbeda dengan gas pipa, karena melalui proses pencairan, pengangkutan, dan regasifikasi, sehingga struktur biayanya juga berbeda,” kata Fajriyah kepada Kontan, Senin (13/1).
Fajriyah menambahkan, keterbatasan pasokan gas pipa diperkirakan masih akan terjadi pada tahun 2025. Oleh sebab itu, gas regasifikasi LNG diproyeksikan menjadi alternatif utama untuk memastikan kebutuhan energi industri dapat terpenuhi.
“Peningkatan porsi pasokan gas regasifikasi LNG merupakan solusi yang efektif untuk memastikan pelanggan kami tetap mendapatkan suplai energi sesuai kebutuhan mereka,” jelasnya.
Baca Juga: Simak Penjelasan PGN Soal Penetapan Harga Gas Regasifikasi US$ 16,77 per MMBTU