Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Nama Paya Pinang Group boleh jadi tak akrab di telinga kita. Namun, perusahaan ini lumayan tersohor di Sumatera Utara (Sumut).
Paya Pinang Group yang bergerak dalam perkebunan kelapa sawit dan karet ini memiliki perkebunan seluas 9.000 hektare (ha) yang tersebar di Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan dan Padang Lawas. Seluruhnya berlokasi di Provinsi Sumut.
Perusahaan ini juga memiliki tiga anak usaha yakni PT PD Paya Pinang yang bergerak di bidang perkebunan karet dan sawit; PT PD Hasjrat Tjipta perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit, dan
PT Sumber Sawit Makmur, perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit.
Saat ini, perkebunan milik Paya Pinang ini dilengkapi dengan pabrik pengolahan kelapa sawit berkapasitas 30 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Grup usaha itu juga memiliki pabrik pengolahan rubber smoke sheet atau karet lembaran asap bergaris.
Sepak terjang bisnis perusahaan ini tak lepas dari Sumarto, Presiden Direktur Paya Pinang Group. Dialah yang berada di balik kemudi perusahaan tersebut.
Sumarto adalah generasi kedua pemilik perusahaan ini. Dia mulai memegang perusahaan ini sejak 2011 lalu dan berhasil membangkitkan kembali bisnis perusahaan yang sempat meredup dam terpuruk karena kisruh dalam internal perusahaan.
Paya Pinang Group sendiri adalah perusahaan yang dirintis orang tua Sumarto, R Soeharno bersama rekannya Aliboman Harahap dan HA Manap Nasution. Tiga orang tersebut mendirikannya tahun 1962.
Sumarto mengaku tidak pernah terlibat dalam pengelolaan perusahaan sebelum tahun 2011. Maklum, dia asyik merintis karier di berbagai perusahaan.
Saat berbincang dengan KONTAN, Jumat (22/1), kemarin, dia mengaku tidak memiliki pilihan lain. Sebab keluarga besarnya menunjuknya untuk memegang kendali perusahaan keluarga.
Sumarto mengisahkan, awalnya Paya Pinang Group berdiri hanya dengan kepemilikan kebun karet seluas 200 ha beserta pabrik rubber smoke sheet di Desa Paya Pinang, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumut. "Namun berkat kegigihan orang tua saya, secara bertahap luas lahan bertambah dan merambah ke komoditas lain di luar karet yakni perkebunan kelapa sawit," ujar Sumarto.
Perkebunan kelapa sawit baru digarap pada tahun 1975. Sementara pengoperasian pabrik kelapa sawit baru dilakukan pada tahun 1987 atau saat usia perusahaan tersebut menginjak 25 tahun.
Perusahaan ini pun semakin ekspansif dengan penguasaan lahan kebun yang semakin besar hingga ribuan ha. Bahkan, Sumarto sempat menyebut Paya Pinang sempat menanam komoditas lain seperti kakao.
Namun, perusahaan ini mulai menemui kerikil dan guncangan pada periode tahun 2000-an. Ketika itu, situasi ekonomi memang tak bersahabat bagi industri perkebunan karena usaha sedang lesu.
Kondisi Paya Pinang Group jauh lebih memprihatinkan karena perusahaan ini mengalami keterpurukan. Saking terpuruknya, perusahaan ini harus mengakhiri lini bisnis kebun kakao yang sebenarnya masih dianggap prospektif.
Sumarto menyebutkan, kesalahan manajemen dan tidak adanya transparansi dalam mengelola perusahaan telah membuat ada indikasi penyimpangan dalam tubuh perusahaan.
Situasi terus berlanjut hingga akhirnya, pria kelahiran Solo, 9 Maret 1959 ini datang ke perusahaan itu. Ia bertekad memperbaiki ketidakberesan perusahaan milik keluarganya.
Salah satu pertimbangan Sumarto ditunjuk untuk membenahi perusahaan itu karena dia dianggap memiliki ilmu bidang perkebunan dan manajemen. Maklum, Sumarto adalah alumni Teknik Industri Institut Pertanian Bogor (IPB) dan University of Hague Belanda bidang Sistem Pengembangan dan Manajemen Bisnis.
Penggabungan dua ilmu ini yang dibutuhkan perusahaan itu untuk berbenah. Selain itu, Sumarto tercatat punya pengalaman panjang sebagai seorang profesional.
Dia pernah bekerja di PT Astra Graphia pada tahun 1984-1986, sebelum memutuskan untuk mendirikan biro konsultan pengembangan manajemen di tahun 1986-1996. Setelah itu, dia meneruskan karier sebagai General Manager di
PT Mustika Ratu sejak tahun 1996-1999.
Sempat vakum dari pekerjaan karena terbang ke Belanda untuk kuliah dan kursus kewirausahaan tahun 2000-2003, Sumarto kembali berkiprah sebagai konsultan manajemen dengan mendirikan usaha jasa konsultasi bisnis dan manajemen di tahun 2004 hingga 2011. Setelah itu, dia terpanggil untuk membenahi perusahaan sang ayah.
Dengan riwayat pengalaman dan rekam jejak tersebut, barangkali tak ada yang meragukan kemampuan Sumarto untuk menyiapkan skenario penyelamatan Paya Pinang Group dari keterpurukan.
Atasi budaya feodal
Sebelum menyentuh pembenahan manajemen perusahaan, langkah awal Sumarto adalah membenahi kesejahteraan karyawan dan keluarganya. Hal ini diwujudkannya dengan mengajak seluruh karyawan perkebunan swadaya memenuhi sebagian kebutuhan hidup mereka.
Salah satunya, dengan mendorong karyawan menanam sayur dan buah, beternak ikan, dan mengkonsumsi makanan sehat. "Meskipun belum sepenuhnya berjalan, kegiatan ini terbukti dapat memenuhi sebagian kebutuhan karyawan," tuturnya.
Setelah itu, barulah Sumarto masuk pada agenda mendiagnosis masalah yang terjadi di perusahaan. Hasilnya, dia menemukan tingginya mental feodalistik di dalam perusahaan yang dipimpinnya.
Dia pun perlahan-lahan membenahinya dengan mengorek sejauh mana budaya tersebut telah merasuki perusahaan. Karena itu ia memilih langsung terjun ke lapangan dan bergaul dengan karyawan sampai ke level terendah.
Dari situlah, Sumarto menemukan banyak informasi begitu pekatnya budaya feodalisme di perusahaan yang membuatnya terkejut. Akhirnya Sumarto membenahi budaya feodal tersebut dengan membuka ruang bagi karyawan di level terendah mengadukan hal-hal yang tidak beres langsung kepadanya sebagai pimpinan..
Setelah perlahan-lahan membenahi budaya internal perusahaan, Sumarto mengajak semua karyawannya bangkit dari keterpurukan dan merasa bangga kepada perusahaan.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah menanam kembali sawit dan karet. Selain itu dia juga berinvestasi pada non-tanaman dalam skala yang cukup besar. "Saya lakukan peremajaan atau replanting dan penataan kebun yang rusak seluas lebih dari 10% pada tahun pertama, dan membeli truk angkutan, mobil dan motor operasional, alat-alat berat dan lain-lain," terangnya.
Tangan dingin Sumarto di perusahaan pada tahun pertama telah berhasil kembali mengibarkan bendera Paya Pinang. Meskipun, pada saat itu, dia mengaku masih mengalami kesulitan dalam hal permodalan.
Namun, dia tak berkecil hati dan tak menjadikan modal uang segara sebagai satu-satunya tumpuan. Baginya lebih penting membangun keyakinan karyawan untuk bisa maju bersama.
Tak berhenti sampai disitu, Sumarto juga mulai membangun sistem transparansi di perusahaan. Dia menata standar-standar operasi, memperbaiki dan meningkatkan kapasitas individu karyawan.
Selain itu, dia juga rajin menggelar pelatihan bagi karyawan, baik di dalam lingkungan perusahaan atau juga keluar dan melakukan kunjungan ke sejumlah pabrik perkebunan di wilayah Sumut, dan di luar negeri.
Hal itu dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan operasional karyawan, termasuk pengembangan mental, moral dan etika mereka.
Dalam upaya memajukan perusahaan tidaklah berjalan mulus. Sumarto harus berhadapan dengan karyawan senior yang lebih mempertahankan status quo karena ingin memperoleh keuntungan pribadi.
Namun Sumarto tidak putus asa, dia melakukan pendekatan interpersonal dan terkadang bersikap tegas untuk tetap memegang kendali perusahaan.
Selain menghadapi tantangan internal, Sumarto juga tak luput dari tantangan dari luar. Salah satunya adalah tantangan dalam kepastian hukum terkait kepengusahaan lahan dan perkebunan kelapa sawit.
Sebab, sudah menjadi rahasia umum, perusahaan perkebunan identik dengan sengketa lahan, misalnya, sengketa masyarakat dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dan asing. Toh, pelan tapi pasti, Sumarto mulai bisa mengurai persoalan itu.
Sumarto menyadari saat ini bisnis kelapa sawit dan karet tengah mengalami kelesuan akibat melemahnya ekonomi global. Alhasil, dia berencana mengintensifkan usaha perkebunannya. Salah satu usahanya dengan menggenjot produktivitas dan mendiversifikasikan usaha lewat pemanfaatan lahan untuk komoditas lain yang mempunyai nilai tambah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News