Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth element (REE) bakal memasuki fase baru. Nantinya, LTJ bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Sehingga LTJ tak lagi sebagai radio aktif, namun masuk ke dalam golongan mineral logam yang dapat diusahakan.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menjelaskan, dengan masuknya tanah jarang ke dalam golongan mineral logam, maka pengusahaan wilayahnya dilakukan melalui sistem lelang. Pengaturan terkait pengusahaan tanah jarang ini telah masuk di dalam Rancangan PP tentang pengusahaan minerba.
"Proyeksi ke depannya, LTJ akan diusahakan dan pengurusan perizinannya berada di bawah Kementerian ESDM," kata Ridwan kepada Kontan.co.id, Senin (28/12).
Baca Juga: Timah (TINS) kembangkan pilot plant pengolahan logam tanah jarang (LTJ)
Dalam Indonesia Mining Outlook 2021, Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung menerangkan bahwa pengaturan LTJ dalam aturan turunan UU Minerba yang baru (UU Nomor 3/2020) berbeda dari regulasi sebelumnya. Di dalam kerangka regulasi yang baru itu, LTJ dipisahkan dari radio aktif sehingga bisa diusahakan sendiri.
Perubahan kebijakan ini mempertimbangkan perkembangan yang ada, termasuk kebutuhan ke depan untuk pengelolaan LTJ sebagai komoditas strategis.
"Kalau yang dulu, itu kan belum diatur. Karena masih merupakan mineral ikutan dari timah dan sebagainya dan ada unsur-unsur radio aktifnya. Sehingga harus dipisahkan, saat itu kita masih kebingungan. kami sudah memasukkannya di dalam RPP," jelas Wafid.
Staff Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arief menambahkan, LTJ di Indonesia cukup potensial. Salah satunya yang berasal komoditas timah.
Konsentrat timah yang diolah mengandung monasit yang di dalamnya terdapat thorium, lalu rare earth carbonite yang bisa diolah menjadi rare earth oxidate hingga rare earth metal.
"REE yang ada itu, komposisinya baik di tailling timah, yang dikerek setelah processing timah itu terdapat elemen-elemen ini, paling tidak tercatat 9 rare earth mineral," jelas dia.
Namun, pengembangan rare earth ini bukan tanpa kendala. Irwandy membeberkan sejumlah tantangan. Pertama, dari akurasi tingkat cadangan dan sumber daya yang perlu dipastikan lagi jumlah dan kecukupan nya.
Baca Juga: Potensi Besar, Pemerintah Bakal Atur Mineral Logam Tanah Jarang
Kedua, perlu dilakukan eksplorasi lanjutan yang juga mempertimbangkan aspek bisnis model pengusahaannya. Ketiga, memastikan teknologi yang pas untuk mengolah konten yang terdapat unsur radio aktif.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto bilang, pihaknya memang sedang melakukan kajian terkait potensi LTJ. Tak hanya dari tingkat cadangan, namun juga menyangkut aspek keekonomian saat diproses.
Kata dia, pemerintah pun menampung masukan dari sejumlah pihak. "Ada beberapa masukan potensi cukup besar. Ada riset lain yang menyebutkan ini pengembangan masih agak sulit. Perlu disikapi secara hati-hati oleh pemerintah terkait LTJ," kata Septian.
Namun, pihaknya optimistis bahwa potensi LTJ di Indonesia cukup melimpah. Sebab, LTJ sebagai mineral ikutan terdapat di sejumlah komoditas tambang, seperti timah, nikel dan bauksit.
Menurut Septian, pengembangan LTJ di Indonesia akan sejalan dengan kewajiban peningkatan nilai tambah atau hilirisasi mineral di dalam negeri.
"Dengan mendorong hilirisasi di dalam negeri saya pikir kita bisa melihat seberapa besar potensinya. Karena kalau kita cuman ekspor bahan mentah, kita nggak tahu, ini sebenarnya yang di dapat di sana (negara lain) bisa jadi apa saja," pungkas Septian.
Baca Juga: Pengembangan logam tanah jarang masih di tahap awal, begini prospek dan tantangannya
Adapun, merujuk pada pemberitaan Kontan.co.id sebelumnya, Badan Geologi sudah melakukan eksplorasi di sejumlah daerah. Kegiatan eksplorasi tersebut dikerjakan dalam beberapa tahun terakhir di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.
Berdasarkan data yang terhimpun hingga tahun 2019, tergambar sumber daya hipotetik di sejumlah pulau tersebut.
Sumber daya hipotetik di Sumatra sekitar 23 juta ton dengan tipe endapan LTJ Laterit, beserta 5 juta ton LTJ dengan tipe tailings. Sedangkan di Kalimantan, sumber daya hipotetik LTJ sekitar 7 juta ton dengan tipe tailings dan di Sulawesi sekitar 1,5 juta ton dengan tipe laterit.
Namun, untuk memastikan akurasi cadangan dari sumber daya hipotetik dan tereka tersebut, masih perlu dilakukan eksplorasi lebih lanjut.
Selanjutnya: ESDM klaim residu bauksit bisa bernilai ekonomis tinggi untuk besi dan titanium
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News