Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia bersiap menghadapi efek samping dari penerapan Undang-undang energi pertama China telah berlaku sejak 1 Januari 2025 lalu. Regulasi anyar ini disebut akan memastikan keamanan energi Negeri Tirai Bambu yang tengah fokus mempromosikan transisi energi hijau dan rendah karbon.
Saat ini, China adalah negara tujuan ekspor batubara terbesar Indonesia setelah India. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor batu bara Indonesia ke China pada tahun 2021adalah sebesar 108,49 juta ton, kemudian mengalami penurunan di tahun 2022 sebesar 69,68 juta ton dan meningkat lagi di tahun 2023 menjadi 81,68 juta ton.
Dengan potensi pergeseran fokus energi China ke sektor Energi Baru Terbarukan (EBT), Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengatakan kebijakan penggunaan bauran energi bersih China sebelumnya memang telah terprediksi.
"Namun secara garis besar untuk kebutuhan batubara industri juga masih ada. Estimasi kami untuk ekspor di (tahun 2025) adalah 327 juta-an (ton)," ungkap Gita saat dihubungi Kontan, Rabu (29/01).
Baca Juga: Lawatan ke India, Menteri ESDM Ungkap Peluang Kerjasama Hilirisasi Batubara dan Nikel
APBI tambah dia, juga telah menghitung akan ada penurunan ekspor batubara secara tipis sepanjang tahun 2025, yaitu diangka 1,26% jika dibandingkan ekspor batubara sepanjang 2024.
"Penurunan tidak terlalu signifikan dari 2024, penurunan sekitar 1,26%," kata dia.
Meski ada potensi penurunan ekspor ke China tahun ini, ekspor ke India diprediksi akan tetap mendaki, khususnya setelah pemerintah India meneken peraturan impor batubara untuk PLTU.
"Kebutuhan India kurang lebih akan sama dengan tahun lalu, Tapi adanya perpanjangan untuk impor batubara terhadap kebutuhan PLTU sampai Februari 2025 bisa menambah, potensi (kenaikan volume) ekspor sekitar 2%," tambahnya.
Baca Juga: Meski Tengah Tertekan, Prospek Harga Komoditas Energi Dinilai Tetap Positif
Sementara ekspor ke negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan serta Asia Tenggara seperti Malaysia tahun ini masih akan stagnan jika dibandingkan dengan tahun 2024.
"Serapan batu bara dalam negeri ke negara-negara tersebut mungkin tidak akan sepenuhnya menggantikan volume ekspor ke China, karena permintaan dan kapasitas impor mereka masing-masing berbeda," tambahnya.
Potensi penurunan ekspor ini juga diamini oleh Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batu bara Indonesia (Aspebindo). Meski penurunan permintaan batubara tidak akan terjadi dalam waktu dekat, namun dalam jangka menengah dan panjang.
"Memang ada kemungkinan terjadi penurunan permintaan batubara dari China dalam jangka menengah dan panjang sebesar 10%-15% per tahun," ungkap Wakil Ketua Aspebindo Fathul Nugroho saat dihubungi Kontan, Rabu (29/01).
Hal ini kata Fathul disebabkan oleh peningkatan penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidro oleh China dan juga penggunaan energi nuklir dan LNG.
"Namun, untuk jangka pendek tahun 2025 belum akan terjadi penurunan permintaan yang signifikan dari china, karena pembangunan pembangkit EBT masih memerlukan waktu," tambah dia.
Meski begitu, sama dengan APBI, Fathul mengungkap India sebagai negara tujuan utama pasar ekspor batubara Indonesia diperkirakan meningkatkan volume permintaan batu bara mereka sekitar 5-8% pada tahun 2025.
"Ini seiring dengan target pertumbuhan ekonomi India sekitar 6,5%-7% pada tahun 2025 ini," tambahnya.
Disisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar menyebut bahwa untuk tahun ini dampak penerapan Undang-undang energi China terhadap penurunan ekspor batu bara dari Indonesia tidak akan signifikan.
"Iya, bisa berpotensi penurunan volume ekspor batubara Indonesia ke China, namun dalam waktu dekat ini tidak akan signifikan, hanya akan menurun sedikit," kata dia kepada Kontan, Rabu (29/01).
Selain pengembangan EBT di China yang masih akan memakan waktu banyak, menurutnya spesifikasi batubara Indonesia dan harga yang kompetitif masih menjadi alasan China mengambil ekspor dari tanah air.
"Tetap paling diminati di China karena spesifikasinya yang sesuai dan harga yang kompetitif. Penurunan (ekspor) berkisar tidak lebih dari 10% dibanding tahun lalu," katanya.
Bisman juga bilang Indonesia masih bisa memaksimalkan ekspor ke negara-negara lain seperti India, Jepang, hingga Korea Selatan.
Sebagai tambahan informasi, anggota parlemen China pada Jumat (8/11) telah meloloskan undang-undang energi pertama negara mereka, dan telah berlaku sejak 1 Januari 2025.
Melansir laporan dari Xinhua, Kamis (08/11) undang-undang tersebut berisi pasal-pasal mengenai perencanaan energi, pengembangan dan pemanfaatan energi, sistem pasar energi, cadangan energi dan tanggap darurat energi, inovasi teknologi energi, pengawasan dan manajemen serta tanggung jawab hukum.
Lebih lanjut, UU itu dirancang untuk mendorong pengembangan energi berkualitas tinggi, menjamin keamanan energi nasional, memajukan transisi hijau yang rendah karbon serta pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya: Tahun Baru Imlek Membawa Harapan Baru bagi Perdagangan Bitcoin dan Kripto
Menarik Dibaca: 11 Obat Herbal Penurun Gula Darah Alami yang Efektif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News