Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai dipangkasnya target bauran energi primer dari energi baru terbarukan (EBT) akan berimplikasi pada turunnya kepercayaan investor terhadap kualitas dan kredibilitas kebijakan di Tanah Air.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia berencana memangkas target bauran energi primer dari energi baru terbarukan (EBT) menjadi 17%-19% dari sebelumnya 23% di 2025 dalam revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menyatakan, target bauran EBT 23% pada 2025 dibuat pada 2014. Di kala itu bauran EBT Indonesia baru sekitar 3% sampai 4% sehingga pemerintah mencanangkan dalam 10 tahun bauran energi bersih bisa naik eksponensial.
Bahkan target ambisius ini menjadi inspirasi bagi ASEAN yang mengikuti jejak Indonesia dengan mencanangkan bauran EBT 23% di 2025.
Baca Juga: PLTP Gunung Salak Milik PLN Indonesia Power Jadi Percontohan BUMN Tanzania
“Namun sayang sekali, kurang dari 2 tahun sebelum 2025 target ini akan diubah menjadi lebih rendah. Ini memberikan sinyal negatif kepada semua pihak, tidak hanya investor,” ujar Fabby kepada Kontan.co.id, Selasa (30/1).
Rencana penurunan target bauran EBT ini setidaknya akan memberikan dua implikasi. Pertama, investor akan menganggap kebijakan dan rencana jangka panjang pemerintah tidak kredibel.
Padahal target bauran EBT di 2025 dan langkah-langkah untuk mencapainya sudah tertuang dengan rinci dalam Perpres 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Ambil contoh, untuk mencapai target 23% pemerintah berencana memanfaatkan PLTS Atap secara masif di gedung pemerintahan dan rumah mewah.
Pada gedung pemerintah diamanatkan untuk menggunakan minimal 30% luasan atapnya dipasang surya atap. Begitu juga di rumah mewah yang didorong memanfaatkan 25% gentengnya menggunakan PLTS Atap.
Namun sayang, perencanaan jangka panjang itu tidak didukung sepenuhnya. Pengembangan PLTS Atap masih saja tersendat hingga saat ini.
Sejumlah tantangan masih mewarnai pelaksanaan proyek PLTS Atap. Salah satunya kebijakan PLN yang membatasi pemasangan karena sistem Jawa-Bali mengalami oversupply listrik. Hal tersebut berimbas pada dihilangkannya net metering. Padahal net metering bisa meningkatkan nilai keekonomian PLTS Atap.
Baca Juga: Pengadaan Proyek Jadi Tantangan Baru Pengembangan Pembangkit EBT di Indonesia
Selain itu, implementasi PLTS untuk proyek skala besar yang tersambung ke jaringan (utility scale) bergantung pada kebutuhan daya PLN. Ini yang kemudian mempengaruhi proses lelang hingga proses perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
“Seringkali kalau mendengar dari pengembang, kadang-kadang draf PPA juga tidak bankable untuk pengembang,” ungkapnya.
Persoalan ini membuat investor EBT di Indonesia meragukan keseriusan pemerintah dalam mengeksekusi kebijakan jangka panjangnya.
Fabby menyatakan, ke depan ketika kemudian pemerintah membuat target Net Zero Emission di 2060 atau target jangka panjang lain, akan sukar dipercaya oleh semua pihak. Padahal kualitas regulasi dan kredibilitas merupakan salah satu pertimbangan besar suatu badan usaha rela mengucurkan duit besar ke suatu negara.