Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
Kedua, penurunan bauran EBT akan berimbas pada dikoreksinya target penurunan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC).
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon untuk menjaga kenaikan suhu global dengan menaikkan target Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) menjadi 32% atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030. Sebelumnya, Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon 29% atau setara dengan 835 juta ton CO2.
“Kalau target bauran EBT 2025 lebih rendah, maka target penurunan emisi gas rumah kaca juga diragukan. Ini menyebabkan krisis kepercayaan di dunia gak hanya komunitas EBT, tetapi juga perubahan iklim juga,” terangnya.
Maka itu, pihaknya meminta agar pemerintah tidak mengubah target bauran energi primer EBT di 2025. Seharusnya, pemerintah lebih ambisius untuk mengejar target tersebut, meski terlihat tidak mungkin tercapai.
Seharusnya, lanjut Fabby, ketika sudah dekat tenggat waktu bauran EBT 23% di 2025, pemerintah mengedepankan upaya mengakselarasi pengembangannya sehingga bauran EBT bisa naik sebanyak mungkin.
“Jika nanti target 23% tidak tercapai ya diakui saja, tetapi kemudian dikompensasi di 2025 sampai 2030 untuk mencapai target selanjutnya,” kata Fabby.
Dia berharap, banyaknya proyek EBT mandek menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mensikronisasi regulasi. Tentu kebijakan tersebut harus pro terhadap EBT, bukan lagi pada energi fosil seperti batubara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News