Reporter: Mona Tobing | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyebut sampai akhir tahun terjadi penumpukan gula asal petani di gudang sebanyak 1,5 juta ton sampai 2 juta ton. Tidak terserapnya gula dari petani di pasar terjadi karena beredarnya gula impor di pasar. Walhasil petani gula merugi sebab sudah tidak ada pemasukan.
Anton Sudibyo, Ketua Paguyuban Petani Pelangi Asal Kabupaten Blora bercerita, selama dua tahun terakhir dirinya menanggung kerugian. Modalnya habis hanya untuk menanam tebu sebesar Rp 24 juta per tahun di atas luas lahan satu hektar. Jika saat ini Anton memiliki 40 hektar, maka kerugian yang telah ditanggungnya sebesar Rp 960 juta setiap tahunnya.
Anton mengaku sedang menimbang-nimbang rencana pengalih lahan perkebunan tebunya ke tanaman lain seperti: padi, cabai, terong, dan melon. Sebab hasil panen tebu miliknya saat ini cuman ditimbun dalam gudang pabrik gula.
Kondisi ini telah merugikan petani gula. Di Jawa Tengah misalnya, petani harus menelan kerugian. Selain tidak laku di pasar. Kalaupun laku, harga pokok penjualan (HPP) bagi petani dianggap terlalu rendah. Bahkan petani harus mengeluarkan kocek lebih untuk menutupi ongkos produksi yang dikeluarkan.
Kondisi ini tentu amat kontra dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan produksi gula nasional. Tahun ini, Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan peningkatan produksi gula mencapai 2,84 juta ton dengan produksi tebu nasional sekitar 2,95 juta ton. Padahal tahun 2014 terjadi defisit kebutuhan 3,09 juta ton.
Sebab tahun pencapaian produksi tahun 2014 cuma 2,79 juta ton dengan kebutuhan sebesar 5,38 juta ton. Nah, tahun ini Kementan menargetkan pencapaian produksi 2015 sebesar 2,95 juta ton atau kenaikan sebesar 0,16 juta ton dibandingkan tahun 2014.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News