Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Transformasi digital kini menjadi kebutuhan strategis bagi sektor publik maupun swasta untuk meningkatkan efisiensi, mendorong inovasi, dan menjaga keberlanjutan. Dalam proses ini, teknologi open source berperan sebagai katalis utama.
Keterbukaan kode sumber menjadikan organisasi bukan hanya pengguna, tetapi juga kontributor yang dapat mengembangkan solusi bersama komunitas global. Akses terbuka terhadap teknologi mutakhir mempercepat inovasi, karena pengembangan, pengujian, dan perbaikan bisa dilakukan secara kolaboratif.
Di sisi lain, open source mengatasi hambatan biaya lisensi perangkat lunak yang kerap menjadi kendala dalam transformasi digital. Solusi ini lebih hemat tanpa mengorbankan kualitas maupun keamanan, sekaligus memberikan fleksibilitas bagi organisasi untuk menyesuaikan aplikasi dan infrastruktur sesuai kebutuhan, sehingga terhindar dari ketergantungan pada vendor tunggal.
Menurut Onno W Purbo, Rektor Institut Teknologi Tangerang Selatan (ITTS) dan pakar telematika, open source memungkinkan Indonesia mandiri dan tidak tergantung pihak luar. Misalnya, ITTS, bisa mengembangkan jaringan 5G sendiri berbasis open source dengan kecepatan hingga 800 Mbps, jauh di atas 4G.
Baca Juga: Alibaba Luncurkan Model AI Koding Open-Source Tercanggihnya, Qwen3-Coder
“Biayanya pun jauh lebih murah. Jika perangkat proprietary bisa mencapai ratusan juta, versi open source bisa dibuat dengan sekitar Rp50 juta. Jadi manfaatnya besar, baik dari sisi inovasi, harga, maupun kemandirian,” kata Onno dalam dalam Canonical Executive Partner Summit 2025 yang digelar Sivali Cloud Technology bersama Canonical, Senin (8/9).
Sementara itu, Wong Sui Jan, Founder & Direktur Utama Sivali Cloud Technology, menjelaskan bahwa sebagai distributor resmi Canonical di Indonesia, peran Sivali adalah memastikan penggunaan open source sesuai regulasi.
Saat ini, pemerintah, BUMN, dan perusahaan finansial dituntut memastikan sistem TI yang aman, patuh regulasi, dan efisien. “Untuk itu, Canonical membawa standar global, sementara Sivali menghadirkan dukungan lokal sesuai aturan SPBE, OJK, BI, dan UU Pelindungan Data Pribadi (PDP),” kata Wong Sui Jan.
Dia mencontohkan, Pegadaian sebagai BUMN yang berhasil mengadopsi open source tanpa mengabaikan governance, risk, dan compliance. Hal ini membuktikan open source dapat memenuhi standar tinggi industri finansial sekaligus mendukung inovasi.
Baca Juga: EdgeNext Gandeng Indointernet (EDGE), Luncurkan Layanan Edge Cloud ke Pasar Indonesia
Selain sektor finansial, lembaga publik juga kian gencar menggunakan open source untuk memperkuat SPBE. Transparansi kode memberi pemerintah kendali lebih besar, mengurangi ketergantungan vendor, menekan biaya lisensi, sekaligus memperkuat kedaulatan data.
Wong Sui Jan menambahkan, kolaborasi Sivali dan Canonical difokuskan pada digitalisasi pelayanan publik, mulai dari infrastruktur cloud lokal, keamanan data, hingga pengembangan SDM melalui universitas.
Naeem Maver, Vice President Asia Pasifik Canonical Ubuntu, menilai Indonesia sebagai pasar open source yang tumbuh pesat dengan pertumbuhan 25% per tahun dan proyeksi mencapai 30% dalam lima tahun ke depan.
Dengan potensi tersebut, Canonical memperkuat komitmennya di Indonesia melalui investasi besar bersama Sivali sebagai mitra strategis, serta membangun ekosistem dengan penyedia global seperti Dell, HP, AWS, Azure, dan Microsoft. “Visi utama Canonical adalah mendemokratisasi open source agar dapat diakses semua pihak, termasuk untuk pengembangan kecerdasan buatan di masa depan,” ujarnya.
Tantangan Talenta Digital
Menurut Maver, transformasi digital di Indonesia semakin nyata karena pemerintah mulai melihat potensi open source. Fondasi utamanya adalah pemanfaatan cloud, disusul dengan adopsi API open source untuk mempercepat integrasi dan inovasi, peningkatan keamanan serta ketersediaan platform secara menyeluruh, dan pengembangan talenta lokal melalui pelatihan, sertifikasi, serta penguatan komunitas.
Di sisi lain, Onno melihat tantangan utama Indonesia dalam menuju kemandirian teknologi terletak pada sumber daya manusia (SDM). Teknologi bisa dibeli dan aturan dapat dibuat, tetapi talenta digital hanya bisa dibentuk melalui proses panjang yang memakan waktu puluhan tahun.
Baca Juga: Persaingan Kerja Kian Ketat, Talenta Digital Banyak Dicari Industri
Menurutnya, jumlah talenta digital di Indonesia masih rendah. Sebelumnya, pemerintah menargetkan bisa mencetak 600.000 talenta digital per tahun. Namun, faktanya, Indonesia hanya mencetak sekitar 600.000 lulusan sarjana setiap tahunnya dari berbagai jurusan. “Lulusan dari bidang teknologi hanya 9% dari total lulusan itu, Hal ini menunjukkan fondasi talenta digital Indonesia masih rapuh,” lanjut Onno.
Onno memadang perlu ada percepatan pembangunan kapasitas talenta digital. Jika tidak, pasar kerja justru akan diisi tenaga asing. Oleh arena itu, pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi perlu diperkaya dengan materi teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI).
“Untuk mengatasinya, ITTS dan komunitas telah menyediakan materi AI gratis, software open source, buku, serta platform e-learning yang bisa diakses secara bebas,” imbuhnya.
Sivali juga berkomitmen menyiapkan tenaga lokal agar layanan dukungan tersedia di Indonesia dengan melakukan pelatihan dan regenerasi, sehingga tercipta duplikasi keahlian dan lahir talenta lokal yang kuat untuk mendukung ekosistem open source.
Sementara itu, Canonical memberikan dukungan dengan mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk mendukung komunitas lokal. “Di bidang pendidikan, Canonical memberikan diskon hingga 90% agar universitas dapat mengakses teknologi open source.” pungkas Maver.
Selanjutnya: Bagaimana Langkah IHSG Hari Ini (9/9) Pasca Reshuffle, Bangkit atau Lanjut Koreksi?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News