Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masih hangat soal sistem yang memungkinkan adanya order fiktif. Di Indonesia, aplikasi itu populer dengan sebutan tuyul. Nah, ternyata tuyul juga ada di Singapura dan Filipina.
Perusahaan aplikator penyedia jasa ride-hailing asal Singapura dan Filipina bertindak tegas seiring kerugian diderita dampak semakin maraknya order fiktif. Kepolisian mulai turun tangan usut aksi tidak fair yang disana disebut dengan istilah phantom bookings.
Perusahaan aplikator lokal Filipina, Micab Systems Corp, termasuk yang berteriak akibat ulah order fiktif yang semakin merajalela baru-baru ini. Jumlahnya mencapai 29.000 order fiktif sejak Juni 2018-24 Juli 2018.
”Dari 29.000 order fiktif tersebut, kami telah menerima lebih dari beberapa ratus laporan Grab yang membujuk pengemudi kami untuk menghadiri orientasi pengemudi mereka. Ini adalah bukti terkuat yang menunjukkan mereka sebagai biang keladi dari order fiktif,” Chief Executive Oficer (CEO) Micab Eddie F. Ybañez seperti dikutip BusinessWorld.
Ungkapan bos Micab itu memang secara terang-terangan menyalahkan GRAB Filipina sebagai pelaku tindakan order fiktif yang sangat merugikan.
”Panggilan telepon Grab kepada pengemudi Micab terjadi beberapa menit setelah setiap order fiktif dimana mereka menghubungi pengemudi kami langsung ke nomor telepon yang pengemudi kami daftarkan dengan Micab, nomor-nomor tersebut pasti sulit diperoleh dengan cara lain,” ungkapya.
Ybañez memiliki data yang menunjukkan bahwa nomor SIM Card yang digunakan pelaku untuk melakukan order fiktif juga berurutan. Besar kemungkinan, kata dia, pelaku-pelaku tersebut membeli nomornya secara bersamaan dalam sekali beli.
“Pengemudi kami mejadi tidak tertarik untuk menerima pesanan karena takut pesanan itu adalah order fiktif. Mereka tidak mau menjadi korban order fiktif yang hanya akan membuang-buang bensin mereka, menghabiskan waktu mereka, dan bahkan membahayakan keselamatan mereka sebab mereka akhirnya berhenti di lokasi yang seringkali sangat terpencil untuk jangka waktu yang lama,” dia menceritakan keluhan para pengemudinya.
Ybañez menyebut kejadian order fiktif yang melanda para mitranya serupa dengan yang dialami pemain lokal di Singapura, RYDE Technologies (RYDE) yang bahkan sudah membawa kasus itu ke kepolisian. Sehingga, dia merasa kasus itu perlu ditindak secara serius.
Hal sama juga dirasakan Owto, layanan sejenis milik iPARA Technologies and Solutions Inc, yang beroperasi di Filipina.
Kepala eksekutif Owto, Joel M. Gayod, mengatakan sejak mulai beroperasi pada Mei 2018, mitra perusahaannya menerima sampai 50 ribu pesanan yang tidak dapat dibuktikan validitasnya.
”Rupanya ada upaya untuk menghancurkan sistem supaya menghancurkan kepercayaan para pengemudi. Kami telah mengamati pola yang berasal dari nomor pemesan dan ketika mobil itu dekat titik pickup (penjemputan) kemudian dibatalkan,” paparnya.
Di Singapura, RYDE mengambil langkah tegas dengan melaporkan pihak terduga pelaku order fiktif kepada pihak kepolisian pada akhir Juni 2018. Laporan juga disampaikan kepada otoritas terkait yaitu Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS) dan National Private Hire Vehicles Association (NPHVA) and Land Transport Authority (LTA).
Gara-garanya, seperti dikutip dari keterangan resmi dari situs RYDE, pada pertengahan Mei 2018 RYDE menerima laporan dalam jumlah besar dari para mitra pengemudi. Seluruhnya terkait order fiktif.
Kasus serupa meningkat hingga enam pekan berikutnya mencapai 300 akun palsu dan 2.000 order fiktif yang terjadi. ”Ini telah menyebabkan gangguan pada pengemudi dan mengakibatkan hilangnya pendapatan yang ditanggung oleh mereka, kerugian sejumlah lebih dari SGD (dolar Singapura) 50 ribu,” bunyi pengumuman resmi RYDE.
Jika menggunakan kurs Rp 10.454 per S$ maka kerugian RYDE yang mencapai S$ 50.000 itu setara Rp 522,72 juta hanya dalam kurun waktu kurang dari dua bulan.
RYDE menyebut sudah melakukan penyelidikan secara mendiri terkait itu. Hasilnya berupa bukti digital yang mengarah ke alamat IP 119.73.221.76, 128.199.213.100 dan 49.213.16.0 sebagai sumber pembuatan akun-akun palsu dimaksud.
Bukti digital itu ternyata menunjukkan bahwa mayoritas dari akun palsu dan dan order fiktif itu berasal dari lokasi di Midview City1 dan The Herencia2. Alamat dimaksud rupanya lokasi atau biasa disebut basecamp GRAB dan UBER yang sudah tidak beroperasi di Singapura.
Atas bukti kuat itu, RYDE punya dasar melaporkan ke pihak kepolisian. ”Manipulasi aplikasi tersebut telah menyebabkan kerugian para mitra pengemudi karena mata pencaharian mereka terkena dampak,” sebut manajemen RYDE.
Selain menyebabkan pengemudi kehilangan uang untuk bahan bakar, menurut RYDE, tindakan itu membuat ketersediaan driver untuk mengambil lebih banyak pekerjaan jadi terbatasi.
Sebab para driver sedang melakukan perjalanan sia-sia menjemput orderan yang sesungguhnya tidak ada manusianya. ”Itu (order fiktif) merupakan tindakan melawan hukum,” tegas manajemen RYDE.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News