Reporter: Sofyan Nur Hidayat |
Indonesia terkendala sertifikasi untuk penuhi permintaan plywood dari Jepang
JAKARTA. Industri kayu di Indonesia tidak bisa memaksimalkan kesempatan memasok kebutuhan kayu berkualitas rendah (low grade) terutama plywood dalam proses rekonstruksi pasca tsunami di Jepang. Peluang itu justru di maksimalkan oleh industri kayu di Serawak, Malaysia.
Robianto Koestomo, Ketua Bidang Pertanian, Kehutanan dan Pertambangan Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) mengatakan ketidakmampuan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan produk kayu berkualitas rendah ke Jepang karena terkendala persyaratan sertifikasi Japan Agricultural Standard (JAS). Maklum sebagian perusahaan perkayuan untuk jenis itu belum mempunyai sertifikat itu. "Tanpa sertifikat itu, produk kayu dari negara lain tidak akan bisa masuk ke Jepang," kata Robianto, Rabu (6/4).
Selain harus mengeluarkan biaya tambahan, Robiyanto mengatakan pengurusan sertifikat itu membutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Padahal pada masa awal rekonstruksi, Jepang membutuhkan banyak produk kayu berkualitas rendah untuk pembangunan rumah dan bangunan yang hancur.
Robianto mengatakan perusahaan kayu berkualitas rendah rata-rata hanya industri kecil dan banyak terdapat di Jawa Tengah. Mereka mengambil kayu yang diproduksi dari pertanian rakyat seperti sengon, pohon kelapa dan karet. Dengan ketidaksiapan Indonesia untuk memasok kebutuhan produk kayu berkualitas rendah ke Jepang, maka peluang itu diambil alih oleh Serawak, Malaysia sudah siap dengan sertifikasi.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno mengatakan Indonesia semestinya bisa memanfaatkan potensi dari pemulihan di Jepang dengan memasok produk kayu ke negara itu. Apalagi kebutuhan di sana sangat besar karena konstruksi kebanyakan bangunan di Jepang bukan dari beton tapi kayu. Namun untuk mengekspor produk kayu ke Jepang harus memenuhi persyaratan sertifikasi yang menjelaskan asal usul kayu dan sebagainya. Meski demikian tetap saja industri kayu Indonesia bisa memasok kayu ke Jepang. "Sudah ada permintaan tapi memang jumlahnya masih kecil," kata Benny.
Di sisi lain, Robianto mengatakan meski tidak bisa memaksimalkan peluang pasokan produk kayu berkualitas rendah, namun Jepang akan membutuhkan produk kayu kualitas atas setelah rumah dibuat untuk furnitur. Untuk kayu high end, menurut Robianto, Indonesia masih mendominasi dan tidak banyak saingannya yang masuk ke Jepang. "Permintaan kayu high end ke Jepang mungkin akan meningkat pada kuartal III atau IV," terang Robianto.
Menurut Robianto, Jepang bagi Indonesia merupakan negara tujuan ekspor terbesar untuk produk kayu. Sementara itu, secara keseluruhan nilai ekspor produk kayu dari Indonesia mencapai US$ 2,92 miliar pada tahun 2010. Angka itu meningkat dari tahun 2009 yang sebesar US$ 2,33 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News