Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
Sedangkan untuk memenuhi skala ekonomi pasar ekspor, investasi yang perlu dikucurkan paling tidak US$ 5 juta atau sekitar Rp 75 miliar untuk kapasitas produksi sel surya di atas 160 MW.
“Ini untuk investasi di awal saja. Supaya keekonomian mencapai level terbaiknya, kapasitas pabrik harus di atas 500 MW,” terangnya.
Melihat investasinya yang besar ini, produsen modul surya lokal yang mengoperasikan mesin jadul, tidak bisa begitu saja ‘banting setir’ menggarap pasar ekspor. Pengusaha cenderung tidak berani mengeluarkan modal sendiri karena masih fokus mempertahankan bisnisnya lantaran pendapatan bergantung pada proyek.
Ironisnya, pendanaan untuk membangun pabrik modul surya juga tidak mudah didapat. Christopher buka-bukaan, perusahaan pembiayaan di Indonesia menilai pendanaan untuk produsen modul surya berisiko tinggi karena kebijakan tidak mendukung industrinya.
Salah satu produsen sel dan modul fotovoltaik terbesar di Indonesia, PT Sky Energy Tbk (JSKY) yang awalnya punya target ambisius ekspansi pabrik hingga peningkatan kapasitas produksi sel dan modul surya hingga 1 GW di 2025, kali ini harus menanggung rugi.
Melansir laporan tahunan 2021 yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen JSKY mencatatkan rugi bersih senilai Rp 71,56 miliar di 2021 dari yang sebelumnya laba (untung) Rp 23,70 miliar di 2018.
Baca Juga: Teknologi Energi Surya dengan Modul Vertex 600W+ Makin Digandrungi
Kerugian yang dicatatkan ini, salah satunya juga dipacu merosotnya penjualan bersih di mana pada 2018 pendapatannya Rp 424,70 miliar menjadi Rp 148,29 miliar di 2021. Selain itu, terdapat penurunan nilai profit margin senilai 15,3% dan kenaikan beban lain-lain sebesar 180%.
Dalam paparan publik yang dilaksanakan 29 Desember 2022, manajemen JSKY menjelaskan, penurunan penjualan Solar Sistem di 2021 disebabkan pandemi sehingga ada hambatan pada impor material dari China. Selain itu, ada juga kendala dari pelanggan yang menunda tiga order kepada JSKY. Kontribusi terbesar dari penurunan tersebut adalah dari ekspor ke negara Amerika Serikat dan Jepang.
Direktur Utama JSKY, Jung Fan menilai selama ini kebijakan yang ada belum sepenuhnya berpihak pada industri PLTS dalam negeri. Dia berharap kebijakan ini dapat dilihat menyeluruh agar industri PLTS bisa tumbuh.
“Sebenarnya bisnis PLTS cukup prospektif ke depannya. Apalagi ada dua poin dari KTT G20 di Bali November 2022 yang mendorong percepatan transisi energi baru terbarukan dan investasi inklusif serta adanya skema pembiayaan investasi di bidang EBT,” jelasnya Selasa (14/2).
Namun untuk proyeksi kinerja di tahun ini Jung Fan belum bisa menyampaikan gambarannya. Yang terang, secara umum 2023 masih ada harapan khususnya ke segmen industri yang membutuhkan PLTS Atap untuk mendukung program pengurangan emisi karbon.
Permasalahan tidak hanya terjadi pada produsen modul surya saja, importir juga turut mengalami kendala berbisnis akibat kebijakan. SUN Energy turut merasakan penurunan minat pelanggan hingga pesanan kapasitas PLTS Atap yang semakin menciut.