kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,40   8,81   0.99%
  • EMAS1.332.000 0,60%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tidak Didukung Kebijakan, Industri Modul Surya di Ujung Tanduk


Senin, 20 Februari 2023 / 11:50 WIB
Tidak Didukung Kebijakan, Industri Modul Surya di Ujung Tanduk
ILUSTRASI. Target energi terbarukan di 2025 bisa tidak tercapai


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bagai telur di ujung tanduk bisa menjadi adagium yang tepat menggambarkan kondisi industri pabrikan modul surya Tanah Air saat ini. Hanya ada dua pilihan bagi mereka, gugur atau merogoh kocek lebih dalam untuk berinvestasi membeli mesin baru demi mengikuti pergeseran permintaan pasar.

Pelaku usaha produsen modul surya, Christopher menceritakan, kecemasan akan prospek bisnis sudah mulai dirasakan sejak dua tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 sedang tinggi-tingginya. Tentu di kala itu, konsentrasi pemerintah dan masyarakat lebih kepada kesehatan sehingga proyek energi terbarukan tidak begitu diprioritaskan.

Namun, pengusaha masih memegang harapan dari program transisi energi yang menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dan Net Zero Emission pada  2060. Ekspektasinya, semakin dekatnya tenggat itu, proyek energi terbarukan semakin masif.

Sayangnya, ekspektasi tidak sesuai realita. Ketidakpastian kebijakan menjadi salah satu biang masalah seretnya permintaan PLTS. Christopher menceritakan peraturan pembangkit surya sejak 2019 hingga saat ini belum memberikan perubahan di pasar.

“Kebijakan yang membebani perusahaan ialah izin pemasangan dari PLN sangat sulit keluar. Sudah begitu, ada pembatasan pemasangan 15% dari kapasitas dan sekarang malah tergantung kuota PT PLN. Banyak hambatan untuk penjualan ke segmen industri dan perumahan,” ceritanya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/2).

Ditambah pula, industri modul surya juga digempur produk luar negeri karena tidak ada batasan atau perlindungan dari barang impor.

Baca Juga: Pemerintah targetkan tambahan kapasitas EBT 368,5 MW pada tahun ini

Beberapa persoalan ini membuat penyerapan modul surya dalam negeri tidak lancar karena  proyek-proyek PLTS maju mundur.

Christopher bercerita, ada 5-10 perusahaan besar mulai dari otomotif, air, hingga kemasan yang kesulitan mendapatkan izin pemasangan PLTS Atap sehingga menunda pemasangan. Ada juga pengalaman lain, proyek pemasangan PLTS Atap sebesar 8 MW perizinannya baru keluar setahun lamanya.

“Ekspektasi pengembangan otomatis tidak sejalan dengan pasarnya. Ternyata pasarnya stuck,” ujarnya.

Jika pasar dalam negeri tidak bisa diharapkan, tentu pasar luar negeri bisa jadi peluang tersendiri karena ada sejumlah perusahaan modul surya lokal yang sudah menembus pasar internasional.

Namun pada kenyataannya, pilihan mengalihkan produksi untuk pasar internasional hanya bisa dilakukan sebagian perusahaan saja, terkhusus yang memiliki teknologi manufaktur modul surya sesuai standar pasar terkini.

Christopher memaparkan, perkembangan teknologi solar panel telah bertumbuh sangat pesat dalam empat tahun terakhir. Saat ini permintaan PLTS dunia dan lokal sudah beralih menggunakan sel surya (cell) generasi baru berukuran 182 millimeter (mm) atau 18,2 centimeter (cm) dengan tipe 9 bus bar (9BB).

Sedangkan mesin-mesin lama yang notabene digunakan industri modul surya di Indonesia maksimal memproduksi sel surya berukuran 158 mm atau 15,8 cm dan 166 mm atau 16,6 cm dengan tipe sel surya 5 Bus Bars (5BB).

Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Target 53 Smelter pada 2023 Berpotensi Tidak Tercapai

“Ukuran yang berbeda ini membuat mesin lama menjadi tidak layak (feasible) untuk produksi,” terang Christopher.

Pergeseran permintaan sel surya ke ukuran lebih besar dan tipe generasi terbaru karena mengincar efisiensi yang lebih tinggi. “9BB ukuran besar, efisiensi dan ampere jauh lebih besar, secara kualitas berbeda,” ujarnya.

Sebagai informasi, 'bus bar' adalah strip logam yang menghantarkan listrik ke seluruh sel surya. Panel surya 9BB memiliki 9 bus bar yang menghubungkan sel surya individual ke sel surya lain dalam panel. Semakin banyak bus bar yang dimiliki, semakin efisien dalam menghantarkan listrik. Panel surya 9BB ditengarai lebih efisien hingga 25% dibandingkan panel surya standar 5BB.

Untuk bisa memproduksi sel surya berukuran lebih besar dengan tipe 9BB, minimal investasi baru yang dibutuhkan sekitar US$ 2 juta hingga US$ 3 juta atau setara Rp 30 miliar hingga Rp 45 miliar (kurs Rp 15.000 per dolar AS). Christopher bilang, investasi sebesar ini pun hanya untuk satu lini produksi berkapasitas 80 MW saja.

Sedangkan untuk memenuhi skala ekonomi pasar ekspor, investasi yang perlu dikucurkan paling tidak US$ 5 juta atau sekitar Rp 75 miliar untuk kapasitas produksi sel surya di atas 160 MW.

“Ini untuk investasi di awal saja. Supaya keekonomian mencapai level terbaiknya, kapasitas pabrik harus di atas 500 MW,” terangnya.

Melihat investasinya yang besar ini, produsen modul surya lokal yang mengoperasikan mesin jadul, tidak bisa begitu saja ‘banting setir’ menggarap pasar ekspor. Pengusaha cenderung tidak berani mengeluarkan modal sendiri karena masih fokus mempertahankan bisnisnya lantaran pendapatan bergantung pada proyek.  

Ironisnya, pendanaan untuk membangun pabrik modul surya juga tidak mudah didapat. Christopher buka-bukaan, perusahaan pembiayaan di Indonesia menilai pendanaan untuk produsen modul surya berisiko tinggi karena kebijakan tidak mendukung industrinya.

Salah satu produsen sel dan modul fotovoltaik terbesar di Indonesia, PT Sky Energy Tbk (JSKY) yang awalnya punya target ambisius ekspansi pabrik hingga peningkatan kapasitas produksi sel dan modul surya hingga 1 GW di 2025, kali ini harus menanggung rugi.

Melansir laporan tahunan 2021 yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen JSKY mencatatkan rugi bersih senilai Rp 71,56 miliar di 2021 dari yang sebelumnya laba (untung) Rp 23,70 miliar di 2018.

Baca Juga: Teknologi Energi Surya dengan Modul Vertex 600W+ Makin Digandrungi

Kerugian yang dicatatkan ini, salah satunya juga dipacu merosotnya penjualan bersih di mana pada  2018 pendapatannya Rp 424,70 miliar menjadi Rp 148,29 miliar di 2021. Selain itu, terdapat penurunan nilai profit margin senilai 15,3% dan kenaikan beban lain-lain sebesar 180%.

Dalam paparan publik yang dilaksanakan 29 Desember 2022, manajemen JSKY menjelaskan, penurunan penjualan Solar Sistem di 2021 disebabkan pandemi sehingga ada hambatan pada impor material dari China. Selain itu, ada juga kendala dari pelanggan yang menunda tiga order kepada  JSKY.  Kontribusi terbesar dari penurunan tersebut adalah dari ekspor ke negara Amerika Serikat dan Jepang.

Direktur Utama JSKY, Jung Fan menilai selama ini kebijakan yang ada belum sepenuhnya berpihak pada industri PLTS dalam negeri. Dia berharap kebijakan ini dapat dilihat menyeluruh agar industri PLTS bisa tumbuh.

“Sebenarnya bisnis PLTS cukup prospektif ke depannya. Apalagi ada dua poin dari KTT G20 di Bali November 2022 yang mendorong percepatan transisi energi baru terbarukan dan investasi inklusif serta adanya skema pembiayaan investasi di bidang EBT,” jelasnya Selasa (14/2).

Namun untuk proyeksi kinerja di tahun ini Jung Fan belum bisa menyampaikan gambarannya. Yang terang, secara umum 2023 masih ada harapan khususnya ke segmen industri yang membutuhkan PLTS Atap untuk mendukung program pengurangan emisi karbon.

Permasalahan tidak hanya terjadi pada produsen modul surya saja, importir juga turut mengalami kendala berbisnis akibat kebijakan. SUN Energy turut merasakan penurunan minat pelanggan hingga pesanan kapasitas PLTS Atap yang semakin menciut.

Keraguan pelaku usaha disebabkan rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap. Ada beberapa poin yang akan direvisi, tetapi ada dua poin yang disoroti dan dinilai akan membebani pelaku usaha. Revisi aturan itu ialah penghapusan sistem ekspor listrik sebagai pengurang tagihan dan peniadaan batasan kapasitas per-pelanggan selama kuota pengembangan PLTS tersedia.

Chief Commercial Officer (CCO) SUN Energy, Dion Jefferson menceritakan, saat ini ada beberapa calon pelanggan merasa harus berpikir masak-masak sebelum memutuskan pasang PLTS.

“Ada beberapa yang ingin pasang setelah (ada arahan pembatasan) kapasitas PLN terpasang meningkat. Ada pula yang menunggu revisi Permen ESDM PLTS Atap dulu sebelum membuat keputusan lagi,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (14/2).

Meski secara jumlah permintaan yang masuk meningkat, Dion mengakui, kapasitas PLTS yang dipasang per-pelanggannya menjadi lebih kecil. “Dari yang sebelumnya bisa di atas 1 Mega Watt Peak (MWp) sekarang di bawah itu,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengkritik kondisi saat ini. Ketika Kementerian ESDM mengeluarkan regulasi Permen PLTS Atap untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan, Kementerian Perindustrian justru menjegalnya dengan kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Sedangkan industri modul surya tidak dibangun oleh Kemenperin dalam 5 tahun belakangan ini.

IESR menilai, kebijakan TKDN menghambat pengembangan PLTS karena peraturan ini dibuat tidak realistis. Berdasarkan cerita pelaku usaha, untuk membangun suatu proyek pembangkit surya dibutuhkan waiver dari Kementerian Perindustrian yang kudu melewati proses panjang, hingga 7 bulan lamanya.

Baca Juga: Potensi EBT Sangat Besar, Indonesia Punya Peluang Ekspor Listrik ke Negara Tetangga

Sedangkan jika pengembang PLTS menggunakan modul surya dalam negeri, proyek menjadi tidak bankable untuk pendanaan. “Modul surya dari dalam negeri masih 30%-40% lebih mahal dibandingkan impor,” kata Fabby.

Di dalam laporan yang berjudul “ Pemetaan Peluang dan Tantangan Pengembangan Industri Komponen PLTS di Indonesia” IESR menjelaskan Indonesia membutuhkan pembaruan peta jalan pengembangan industri PLTS, menyesuaikan dengan kondisi dalam negeri dan rantai pasok global yang telah mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir.

Seperti yang telah dimandatkan dalam Peraturan Presiden No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Kemenperin perlu menyusun peta jalan pengembangan industri untuk mendukung percepatan pengembangan EBT.

Peta jalan tersebut harus spesifik dan realistis agar dapat dijadikan tolak ukur dan bahan pertimbangan pemerintah pusat dalam pemberian insentif.

Aturan TKDN untuk proyek PLTS saat ini belum efektif karena tidak disertai dengan insentif yang memadai untuk pengembangan industri. Di sisi lain, aturan ini justru cenderung menghambat pertumbuhan instalasi PLTS di Indonesia.

TKDN PLTS menjadi salah satu tantangan dalam pemenuhan target kapasitas EBT terpasang pemerintah Indonesia. Kewajiban pemenuhan TKDN memberatkan pengembang PLTS dalam hal pendanaan proyek karena komponen PLTS produksi dalam negeri seperti modul surya dinilai belum bankable.

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan saat ini pihaknya akan akan memperkuat rantai nilai industri pengolahan silika sebagai bahan baku industri photovoltaic (PV) solar panel dan semikonduktor.

Baca Juga: Capex Pembangunan PLTS Dinilai Terus Alami Penurunan

“Bahwa rantai nilai industri ini masih ada kekosongan atau belum tersedianya industri pada industri hulu dan antara. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan investasi pada rantai tersebut,” tuturnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (14/2).

Agus mengatakan, untuk menumbuhkan industri pengolahan silika, Indonesia memerlukan peningkatan investasi di industri metallurgical-silicon sebesar US$ 300 juta dengan kapasitas produksi 32.000 metrik ton per tahun. Selanjutnya, dibutuhkan juga investasi di sektor industri polysilicon sebesar US$ 373 juta dengan kapasitas produksi mencapai 6.500 metrik ton per tahun.

“Selain itu, kebutuhan investasi di industri ingot monocrystalline dan wafer sebesar US$ 85 juta dengan kapasitas 1 GWP per tahun. Terkait dengan rencana investasi tersebut, diusulkan pembatasan ekspor bahan baku mentah silika melalui neraca komoditas serta percepatan investasi industri intermediate,” paparnya.

Target Bauran EBT 23% di 2025 Terancam

Terganjalnya pengembangan PLTS Atap ini merupakan ironi. Pasalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkali-kali mengendorse PLTS untuk meningkatkan penggunaan energi bersih di Indonesia.

Indonesia menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada 2025 mendatang. Tetapi pada 2022 realisasi bauran EBT baru mencapai 14,11%.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyampaikan di 2023 pihaknya memproyeksikan kapasitas pembangkit EBT mencapai 12.925 MW. Adapun bauran EBT yang dibidik di tahun ini sebesar 17,9%.

Menurut perhitungan KONTAN, target penambahan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) EBT di tahun ini hanya naik 2,9% dari realisasi 2022 yang sebesar 12.557 MW.  

“Secara total target penambahan kapasitas terpasang PLT EBT untuk tahun 2023 adalah sebesar 368,5 MW, hal ini didasarkan pada hasil monitoring terhadap dokumen RUPTL PT PLN (Persero),” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (15/2).

Dadan menjelaskan, pada umumnya pembangunan PLT EBT tersebut ada yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu satu tahun. Namun demikian pembangunan PLT EBT tersebut terus berproses baik dalam tahap perencanaan, pengadaan sampai dengan konstruksi.

Supaya Indonesia mencapai target bauran EBT 23% di 2025, dibutuhkan tambahan 12 GW pembangkit energi bersih. Menurut perhitungan KONTAN, seharusnya dalam tiga tahun ini Indonesia menambah pembangkit EBT sebesar 4 GW per tahun.

Brantas Energi, Anak Usaha Brantas Abipraya Serius Jadi Pemain Utama di Sektor Energi Baru Terbaruka

Dadan menyampaikan salah satu pembangkit yang akan diandalkan untuk mengejar target bauran energi ialah PLTS. Hal ini disebabkan pembangkit surya memiliki total potensi sebesar 3.295 GW.

“Dengan potensi yang sedemikian besar maka pengembangan PLTS skala besar akan sangat dimungkinkan, selain itu faktor pendorong lainnya yaitu waktu konstruksi PLTS yang singkat dan biaya investasi yang semakin turun atau murah sehingga lebih kompetitif,” jelasnya.

Lirik Keberhasilan India Manfaatkan PLTS  

Melirik keberhasilan negara lain dalam pengembangan EBT, khususnya memaksimalkan potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif membeberkan kebijakan yang diambil oleh India.

Negeri Bollywood ini mencanangkan target EBT hingga 500 GW pada 2030 dan sampai dengan saat ini kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan sudah mencapai hingga 259,95 GW. Salah satu pembangkit bersih yang diandalkan untuk mengejar target tersebut ialah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Sedangkan Indonesia mencanangkan target pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) 20,9 GW di 2030 di mana saat ini baru mencapai 12,5 GW. Tentu kalau soal target pembangkit EBT dibandingkan dengan India, Indonesia masih jauh tertinggal.

“Di India ada faktor pendorong pengamanan faktor energi, penyediaan akses energi yang bersifat universal untuk mencapai target perubahan iklim,” ujarnya.

Arifin bilang, kebijakan utama yang dilaksanakan oleh India antara lain kebijakan Feed In Tariff pada 2009, kemudian dana EBT yang dimulai pada 2010 melalui dukungan pembiayaan National Clean Energy Fund (INCEF) dari pajak batubara. Dana ini dikelola oleh Indian Renewable Energy Development Agency Limited (IREDA).

Baca Juga: Kementerian ESDM Bocorkan Program Transisi Energi yang Dapat Kucuran Dana JETP

Arifin juga menyoroti sejumlah kebijakan lain yang mendukung industri hulu hingga hilir PLTS di India. Di sisi hulu, India juga melakukan pengembangan industri manufaktur tenaga listrik surya, melalui skema insentif terkait produksi kepada produsen asing untuk memproduksi di India dan produsen dalam negeri untuk memperluas produksi dan ekspor sebesar US$ 2,41 miliar.

Director Centre for Energy Finance CEEW, Kanika Chawla memaparkan bahwa salah satu praktik baik pemerintah India adalah membangun pasar energi terbarukan dengan cara menjelaskan secara rinci target jangka panjangnya.

“Hal ini membuat banyak investor baik domestik maupun internasional tertarik untuk berpartisipasi karena dapat memproyeksikan usaha mereka dalam lima atau sepuluh tahun ke depan,” jelasnya dalam webinar beberapa waktu lalu.

Tidak hanya itu, kepastian kebijakan ini membuat banyaknya investor yang berminat melakukan negosiasi harga menjadi lebih kompetitif dan lebih murah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×