kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,40   8,81   0.99%
  • EMAS1.332.000 0,60%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tidak Didukung Kebijakan, Industri Modul Surya di Ujung Tanduk


Senin, 20 Februari 2023 / 11:50 WIB
Tidak Didukung Kebijakan, Industri Modul Surya di Ujung Tanduk
ILUSTRASI. Target energi terbarukan di 2025 bisa tidak tercapai


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari

Keraguan pelaku usaha disebabkan rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap. Ada beberapa poin yang akan direvisi, tetapi ada dua poin yang disoroti dan dinilai akan membebani pelaku usaha. Revisi aturan itu ialah penghapusan sistem ekspor listrik sebagai pengurang tagihan dan peniadaan batasan kapasitas per-pelanggan selama kuota pengembangan PLTS tersedia.

Chief Commercial Officer (CCO) SUN Energy, Dion Jefferson menceritakan, saat ini ada beberapa calon pelanggan merasa harus berpikir masak-masak sebelum memutuskan pasang PLTS.

“Ada beberapa yang ingin pasang setelah (ada arahan pembatasan) kapasitas PLN terpasang meningkat. Ada pula yang menunggu revisi Permen ESDM PLTS Atap dulu sebelum membuat keputusan lagi,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (14/2).

Meski secara jumlah permintaan yang masuk meningkat, Dion mengakui, kapasitas PLTS yang dipasang per-pelanggannya menjadi lebih kecil. “Dari yang sebelumnya bisa di atas 1 Mega Watt Peak (MWp) sekarang di bawah itu,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengkritik kondisi saat ini. Ketika Kementerian ESDM mengeluarkan regulasi Permen PLTS Atap untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan, Kementerian Perindustrian justru menjegalnya dengan kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Sedangkan industri modul surya tidak dibangun oleh Kemenperin dalam 5 tahun belakangan ini.

IESR menilai, kebijakan TKDN menghambat pengembangan PLTS karena peraturan ini dibuat tidak realistis. Berdasarkan cerita pelaku usaha, untuk membangun suatu proyek pembangkit surya dibutuhkan waiver dari Kementerian Perindustrian yang kudu melewati proses panjang, hingga 7 bulan lamanya.

Baca Juga: Potensi EBT Sangat Besar, Indonesia Punya Peluang Ekspor Listrik ke Negara Tetangga

Sedangkan jika pengembang PLTS menggunakan modul surya dalam negeri, proyek menjadi tidak bankable untuk pendanaan. “Modul surya dari dalam negeri masih 30%-40% lebih mahal dibandingkan impor,” kata Fabby.

Di dalam laporan yang berjudul “ Pemetaan Peluang dan Tantangan Pengembangan Industri Komponen PLTS di Indonesia” IESR menjelaskan Indonesia membutuhkan pembaruan peta jalan pengembangan industri PLTS, menyesuaikan dengan kondisi dalam negeri dan rantai pasok global yang telah mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir.

Seperti yang telah dimandatkan dalam Peraturan Presiden No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Kemenperin perlu menyusun peta jalan pengembangan industri untuk mendukung percepatan pengembangan EBT.

Peta jalan tersebut harus spesifik dan realistis agar dapat dijadikan tolak ukur dan bahan pertimbangan pemerintah pusat dalam pemberian insentif.

Aturan TKDN untuk proyek PLTS saat ini belum efektif karena tidak disertai dengan insentif yang memadai untuk pengembangan industri. Di sisi lain, aturan ini justru cenderung menghambat pertumbuhan instalasi PLTS di Indonesia.

TKDN PLTS menjadi salah satu tantangan dalam pemenuhan target kapasitas EBT terpasang pemerintah Indonesia. Kewajiban pemenuhan TKDN memberatkan pengembang PLTS dalam hal pendanaan proyek karena komponen PLTS produksi dalam negeri seperti modul surya dinilai belum bankable.

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan saat ini pihaknya akan akan memperkuat rantai nilai industri pengolahan silika sebagai bahan baku industri photovoltaic (PV) solar panel dan semikonduktor.

Baca Juga: Capex Pembangunan PLTS Dinilai Terus Alami Penurunan

“Bahwa rantai nilai industri ini masih ada kekosongan atau belum tersedianya industri pada industri hulu dan antara. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan investasi pada rantai tersebut,” tuturnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (14/2).

Agus mengatakan, untuk menumbuhkan industri pengolahan silika, Indonesia memerlukan peningkatan investasi di industri metallurgical-silicon sebesar US$ 300 juta dengan kapasitas produksi 32.000 metrik ton per tahun. Selanjutnya, dibutuhkan juga investasi di sektor industri polysilicon sebesar US$ 373 juta dengan kapasitas produksi mencapai 6.500 metrik ton per tahun.

“Selain itu, kebutuhan investasi di industri ingot monocrystalline dan wafer sebesar US$ 85 juta dengan kapasitas 1 GWP per tahun. Terkait dengan rencana investasi tersebut, diusulkan pembatasan ekspor bahan baku mentah silika melalui neraca komoditas serta percepatan investasi industri intermediate,” paparnya.




TERBARU

[X]
×